Pengikut

Selasa, 20 September 2011

Galaksi Jauh dari Alam Semesta Dini

Perjalanan manusia untuk mencari galaksi-galaksi tua untuk mnelusuri kembali pembentukkannya masih terus berlanjut. Setelah masyarakat dikejutkan dengan penemuan galaksi yang berada pada jarak 13,2 milyar tahun dengan pergeseran merah 10,3.
Para peneliti tak berhenti sampai disitu, pencarian masih terus berlanjut untuk mengungkap sejarah alam semesta. Dengan menggunakan kemampuan untuk memperbesar dari lensa kosmik gravitasi, para astronom berhasil menemukan sebuah galaksi jauh yang diperkirakan lahir pada masa awal sejarah kosmik. Hasil ini memberi cahaya baru bagi pembentukan galaksi pertama sekaligus juga membawa manusia untuk mengkaji kembali evolusi dini alam semesta.
Penemuan Galaksi Baru
Galaksi jauh yang ditemukan di masa awal alam semesta. kredit : NASA, ESA
Dalam penelitian yang dilakukan Johan Richard (CRAL, Observatoire de Lyon, Université Lyon 1, France and Dark Cosmology Centre, Niels Bohr Institute, University of Copenhagen, Denmark) dan timnya, mereka berhasil menemukan galaksi jauh yang mulai terbentuk sekitar 200 juta tahun setelah terjadinya Big Bang atau Dentuman Besar.
Penemuan ini menjadi tantangan baru bagi teori yang ada terutama mengenai kapan galaksi terbentuk dan berevolusi di tahun-tahun awal pembentukan alam semesta. Bukti baru yang ada juga bisa digunakan untuk mengungkap misteri bagaimana kabut hidrogen yang mengisi alam semesta dini bisa dibersihkan.
Tim yang dipimpin Richard melihat galaksi yang mereka temukan saat melakukan pengamatan dengan menggunakan NASA/ESA Hubble Space Telescope dan kemudian dikonfirmasi ulang menggunakan Spitzer Space Telescope. Pengukuran jarak kemudian dilakukan menggunakan W. M Keck Observatory di Hawaii.
Pengamatan Galaksi ….
Galaksi jauh yang ditemukan tersebut tampak melalui gugus galaksi Abell 383, yang kekuatan gravitasinya mampu membelokkan cahaya dan berfungsi sebagai kaca pembesar. Kesempatan terjadinya kesejajaran antara galaksi, gugus galaksi dan Bumi memperkuat cahaya yang diterima dari galaksi jauh sehingga para astronom dapat melakukan pengamatan yang lebih detil. Tanpa lensa gravitasi, galaksi yang dituju terlalu redup untuk bisa diamati meskipun dengan teleskop tercanggih yang ada saat ini.
Setelah berhasil mengenali galaksi yang dicari dalam citra yang dihasilkan Hubble dan Spitzer, dilakukan pengamatan spektroskopik dengan teleskop Keck-II di Hawaii. Spektroskopi merupakan teknik untuk memecah cahaya ke dalam komponen warnanya. Setelah itu dilakukan analisa spektrum sehingga bisa dilakukan pengukuran pergeseran merah dan mendapatkan informasi terkait komponen bintangnya.
Implikasi Penemuan Galaksi
Hasil pengukuran yang dilakukan Johan Richard dan tim menunjukkan kalau galaksi tersebut memiliki pergeseran merah 6.027 yang artinya, pengamat melihat galaksi tersebut saat ia ada pada kondisi alam semesta berusia 950 juta tahun.  Hasil ini tidak lantas menjadikan galaksi baru tersebut sebagai galaksi paling jauh atau paling tua karena ada galaksi lainnya yang memiliki pergeseran merah lebih dari 8 dan ada yang pergeseran merahnya 10 atau sudah ada 400 juta tahun sebelum si galaksi yang ditemukan Richard dkk.
Tapi setiap penemuan tentu punya keunikan tersendiri. Galaksi baru ini ternyata memiliki fitur yang sangat berbeda dibanding galaksi jauh lainnya yang pernah diamati, yang umumnya terang dan terdiri dari bintang-bintang muda.
Menurut Eiichi Egami, salah satu peneliti Galaksi baru tersebut, ada dua hal yang mereka lihat saat melakukan analisa spektrum. Pergeseran merah dari galaksi tersebut menunjukkan kalau ia berasal dari masa awal sejarah kosmik. Tapi ada hal menarik lainnya. Deteksi yang dilakukan oleh Spitzer dengan mata inframerahnya mengindikasikan galaksi tersebut sudah berusia lebih tua lagi dan ia diisi oleh bintang redup.  Diperkirakan galaksi tersebut disusun oleh bintang-bintang yang usianya sudah mendekati 750 juta tahun.
Artinya, epoh pembentukannya pun mundur ke era sekitar 200 juta tahun setelah Dentuman Besar. Atau dengan kata lain, galaksi ini sudah berusia sangat tua dan bisa disimpulkan juga kalau galaksi pertama yang terbentuk di masa awal alam semesta ternyata memang lebih dini dibanding perkiraan para ilmuwan.
Penemuan galaksi ini jelas memberi implikasi pada teori pembentukan galaksi mula-mula sekaligus memberi informasi bagaimana alam semesta menjadi transparan bagi cahaya ultraungu di masa satu milyar tahun pertama setelah Dentuman Besar.
Di masa awal kosmos, terdapat kabut gas hidrogen netral yang menghalangi cahaya ultraungu di alam semesta. Untuk bisa membuat alam semesta jadi transparan dan bersih dari kabut tersebut, sebagian sumber radiasi harus mngionisasi gas yang tersebar tersebut, membersihkan kabut yang menghalangi dan menjadikan alam semesta transparan bagi sinar ultraungu. Proses inilah yang dikenal sebagai proses reionisasi.
Para astronom meyakini kalau radiasi yang memberi tenaga untuk terjadinya reionisasi tersebut haruslah datang dari galaksi-galaksi. Akan tetapi diyakini tidak ada satu pun galaksi yang ditemukan yang dapat memberi radiasi yang diperlukan. Nah, penemuan galaksi baru ini diyakini dapat menyelesaikan teka-teki tersebut.
Tampaknya, galaksi yang baru ditemukan ini bukanlah satu-satunya. Diyakini masih ada lebih banyak galaksi-galaksi lain di masa alam semesta dini melebihi dugaan sebelumnya. Dan diyakini juga galaksi-galaksi tersebut sudah tua dan redup, sperti yang baru saja ditemukan. Jika analisa mengenai keberadaan galaksi-galaksi tua dan redup di alam semesta dini memang benar adanya maka mereka inilah yang akan menjadi jawaban yang menyediakan radiasi yang dibutuhkan untuk membuat alam semesta menjadi transparan bagi sinar ultraungu.
Untuk saat ini, para peneliti hanya dapat menemukan galaksi – galaksi melalui pengamatan menggunakan gugus masif yang bertindak sebagai teleskop kosmik. Di masa yang akan datang James Webb Space Telescope milik NASA/ESA/CSA akan diluncurkan dan akan bekerja pada pengamatan resolusi tinggi untuk mencari obyek yang memiliki pergeseran merah tinggi. Pada masa inilah, JWST akan menjadi mata yang bisa mengungkap semua misteri di masa alam semesta dini.

Galaksi Besar Berhenti Bertumbuh 7 Milyar Tahun Lalu

Pembentukan dan pertumbuhan galaksi diperkirakan terjadi sebagai akibat gaya gravitasi antara sub galaksi atau gabungan sub galaksi yang prosesnya terjadi terus-menerus.
Yang menarik, data terbaru dari tim peneliti John Moores University, Liverpool justru menantang konsep yang sudah lama ada tersebut. Kok bisa? Data terbaru menunjukkan kalau pertumbuhan sebagian obyek masif tersebut berhenti 7 milyar tahun lalu saat alam semesta baru mencapai setengah dari usianya saat ini.
Konsep Pembentukan Galaksi
Gugus Galaksi Terang (BCG) tampak sebagai busur oranye dalam citra yang diambil Teleskop Hubble dari gugus galaksi Abell 2218. Kredit: NASA, ESA, and Johan Richard (Caltech, USA)
Bagaimana galaksi terbentuk dan kemudian mengalami evolusi masih merupakan pertanyaan yang sebagian besar belum terjawab. Selama ini diyakini ada kelompok sub-galaksi yang bergabung membentuk galaksi, dan terkait dengan fluktuasi dalam kerapatan materi di kosmos yang tersisa setelah Dentuman Besar yang saat ini terlihat sebagai riak temperatur pada radiasi kosmik latar belakang (cosmic microwave background / cmb)
Untuk mempelajari evolusi galaksi, Claire Burke dan tim juga melibatkan Professor Chris Collins dan Dr John Stott (University of Durham) melihat dan menelaah galaksi paling masif di alam semesta yang dikenal sebagai Brightest Cluster Galaxies (BCGs) atau Gugus Galaksi Paling Terang. Dinamai demikian karena lokasinya berada pada pusat gugus galaksi, stuktur yang terdiri dari ratusan galaksi.
Dalam lingkungan alam semesta, BCGs berbentuk ellips, berukuran paling besar, seragam, dan paling masif dari galaksi – galaksi yang di amati. Setiap galaksi yang tergolong BCGs memiliki massa sebanding dengan 100 trilyun Matahari. Seperti galaksi ellips kecil, BCGs tersusun oleh bintang merah yang tua dan diperkirakan terbentuk melalui penggabungan populasi sub galaksi berkerapatan tinggi yang ditemukan di pusat gugus galaksi. Dengan mempelajari ukuran pertumbuhan BCGs maka diharapkan para ilmuwan bisa mendapatkan informasi terkait pembentukan dan evolusi galaksi secara umum.
Untuk bisa mengukur ukuran BCGs tidaklah mudah karena area terluarnya sangat redup. Untuk itu Burke dan timnya mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan citra eksposur panjang dari arsip Teleskop Hubble, yang secara khusus memotret bagian redup dari galaksi-galaksi tersebut.  BCGs yang dipelajari ini berada sangat jauh dan cahaya yang dideteksi pada galaksi-galaksi tersebut berasal dari cahaya 7 milyar tahun lalu. Artinya galaksi-galaksi tersebut tampak bagi pengamat sesuai dengan kondisinya saat ia berada di usia setengah usia alam semesta kini.
Setelah mempelajari dan menganalisa citra Hubble, ditemukan kalau BCGs jauh tersebut memiliki ukuran yang hampir sama dengan rekan mereka yang berada lebih dekat. Selain itu galaksi-galaksi ini harusnya bisa bertumbuh setidaknya 30% dalam 9 milyar tahun. Hasil simulasi untuk evolusi alam semeta justru memprediksi kalau BCGs seharusnya memiliki ukuran 3 kali lipat setelah waktu tersebut.
Lambatnya pertumbuhan sebagian besar galaksi masif jelas menjadi tantangan tersendiri bagi model pembentukan dan evolusi alam semesta struktur skala besar. Tampaknya para kosmolog membutuhkan beberapa bahan penting lainnya untuk bisa memahami evolusi galaksi dari masa lalu sampai masa kini.


Ledakan Kosmik, Kandidat Obyek Terjauh di Alam Semesta

Bulan April 2009, kala itu satelit Swift milik NASA berhasil mendeteksi semburan sinar gamma atau gamma ray burst aka GRB yang kemudian menarik perhatian para astronom. Apa istimewanya?
Ilustrasi semburan sinar gamma. Kredit : NASA /Swift /Cruz deWilde
GRB 090429B ini merupakan satu diantara semburan sinar gamma yang ada di alam semesta. Semburan sinar gamma sendiri merupakan ledakan keras dan bencana besar dari bintang masif. Bayangkan peristiwa ini sebagai supernova yang super, kematian bagi bintang yang memiliki umur pendek dengan kehidupan yang penuh dinamika.
Tapi lagi-lagi pertanyaannya, apa istimewanya GRB 090429B tersebut?
Yang menarik dari semburan sinar gamma yang satu ini adalah kemungkinan dirinya menjadi kandidat obyek terjauh yang ada di alam semesta. Jarak yang diperkirakan adalah 13,14 milyar tahun cahaya. Artinya, semburan sinar gamma ini berada jauh melebihi keberadaan quasar yang sudah dikenal saat ini dan bahkan bisa lebih jauh lagi dari galaksi dan semburan sinar gamma yang sudah ada. Arti lainnya? Para astronom berhasil menemukan galaksi-galaksi yang berada di masa awal alam semesta. Semakin mendekati masa awal keberadaan alam semesta maka semakin banyak pula informasi yang bisa didapat tentang kondisi awal alam semesta serta apa yang terjadi saat itu.

Ledakan dari masa lalu

Ditemukan pada tanggal 29 April 2009, semburan tersebut diberi nama sekaligus mengiindikasikan saat ia ditemukan yakni 090429B dengan B menunjukkan bahwa ia merupakan semburan kedua yang diamati pada hari yang sama.
Semburan sinar gamma merupakan sebuah letupan yang sangat terang yang memancarkan lebih banyak cahaya hanya dalam waktu beberapa detik. Lebih banyak dari cahaya yang dipancarkan Matahari dalam seluruh hidupnya. Semburan yang luar biasa terang tersebut terjadi di suatu lokasi dalam rentang alam semesta yang bisa diamati. Laju terjadinya semburan di alam semesta diketahui sebanyak 2 semburan setiap harinya. Semburan yang sangat terang tersebut bisa dilihat dari jarak yang sangat jauh. Bahkan bisa dideteksi dari jarak milyaran tahun cahaya oleh Swift dan satelit pendeteksi lainnya.
Semburan sinar gamma raksasa ini meletus dari bintang yang meledak saat alam semesta masih berusia kurang dari 4% dari usianya saat ini, atau sekitar 520 juta tahun, dan ukurannya juga masih 10% lebih kecil dari ukurannya saat ini. Dengan demikian, galaksi yang menjadi rumah bagi bintang leluhur GRB 090429B merupakan salah satu dari galaksi-galaksi pertama di alam semesta.
Semburan sinar gamma berlansung sangat cepat dan berakhir hanya dalam 1 menit, dan cahaya yang tertinggal dari hasil semburan baru memudar setelah beberapa hari sampai dengan seminggu sehingga bisa diamati oleh fasilitas astronomi yang ada. Pengamatan cahaya yang tersisa pada rentang waktu tersebut memungkinkan para astronom untuk menentukan jarak semburan.
Pengukuran cahaya yang tersisa inilah yang digunakan untuk mengukur jarak GRB 090429B dan menemukan kalau semburan ini memang datang dari awal alam semesta yakni dari jarak 13,14 milyar tahun cahaya, dan menjadikannya GRB terjauh saat ini.
Hasil pengamatan GRB 090429B menggunakan Gemini Observatory. Kredit : Gemini Observatory/AURA/Andrew Levan (University of Warwick, UK)
Berburu Ledakan Kosmik dari Masa Lalu
Untuk menemukan GRB 090429B, para astronom punya cerita menarik. Kurang dari seminggu setelah GRB 090423 dinyatakan sebagai obyek terjauh di masa itu pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya, GRB 090429B tampak di angkasa dengan properti yang mirip. GRB 090429B merupakan kejadian yang singkat dan berakhir hanya dalam 10 detik. Pada saat itu pengamatan Swift menunjukkan keberadaan sinar X yang redup. Pagi itu pula Antonino Cucchiara, mahasiswa paska sarjana dari Penn State yang saat ini sudah berada di University of California, Berkeley, bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan pengamatan dengan menggunakan teleskop Gemini North di Mauna Kea, Hawaii dengan harapan bisa mengetahui sifat semburan tersebut.
Tapi ternyata hasilnya tidak bisa didapat sesuai harapan. Awan muncul dan menghalangi pandangan teleskop Gemini ke semburan tersebut. Malam berikutnya cahaya yang tersisa dari semburan pun masih terlalu redup untuk didapatkan spektrumnya dan di hari berikutnya cahaya itu pun memudar sehingga tak dapat dilihat. Tanpa pengamatan tersebut, hanya jarak yang bisa diketahui tapi petunjuk yang ada memang mengarahkan bahwa semburan ini merupakan obyek terjauh.
Cahaya Semburan Pada Panjang Gelombang Infra Merah
Dengan filter berbeda, para astronom menemukan bahwa cahaya sisa semburan tersebut tampak pada pengamatan inframerah dan tidak terlihat pada pengamatan cahaya tampak. Hal ini penting karena alam semesta mengembang.
Mengembangnya alam semesta menyebabkan cahaya dari obyek yang datang dari jauh akan bekerja menentang pengembangan alam semesta. Cahaya tidak akan melambat tapi akan mengalami kehilangan energi. Akibatnya terjadi pergeseran warna cahaya ke area yang lebih merah pada spektrum yang diterima. Pada jarak yang sangat jauh, cahaya ultra ungu yang menjelajah dari jauh akan bergeser ke bagian cahaya tampak di spektrum. Yang menarik, dalam perjalanannya ada gas di alam semesta yang menyerap cahaya ultraungu dan membiarkan cahaya tampak untuk terus melaju.
Citra GRB 090429B yang dihasilkan Gemini Near-Infrared Imager (NIRI) menggunakan filter J,H, dan K (label) dan filter Z (kiri) yang diperoleh dari Gemini Multi-Object Spectrograph. Seluruh cira dihasilkan menggunakan teleskop. Gemini North di Mauna Kea, Hawai‘i. Kredit :Gemini Observatory/AURA/Penn State/UC Berkeley/University of Warwick, UK
Sekarang bayangkan, GRB yang berada demikian jauh. Jika cahaya ultra ungu bergeser ke cahaya tampak, maka tentunya cahaya tampak dari GRB akan bergeser ke arah merah yakni ke panjang gelombang infra merah. Di Bumi, yang dilihat pengamat adalah cahaya inframerah dari GRB yang sebenarnya waktu memulai perjalanan merupakan cahaya tampak. Dan pengamat tidak melihat keberadaan semburan tersebut di cahaya tampak yang saat baru memulai perjalanan melintasi alam semesta merupakan sinar ultra ungu. Inilah yang dilihat pada GRB 090429B. Cahaya Infra merah dan tidak ada tanda-tanda di cahaya tampak.
Perilaku terjadinya pergeseran inilah yang menjadi indikasi keberadaan obyek jauh dan digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan quasar, galaksi dan semburan gamma yang berada pada jarak yang jauh. Inilah bukti pertama yang menunjukkan bahwa cahaya semburan itu datang dari lokasi yang sangat jauh.
Dengan menganalisa cahaya yang diblok atau dihalangi terhadap cahaya yang bisa terus melaju bisa digunakan untuk menghitung pergeseran merah yang terjadi dan dengan demikian menentukan jarak semburan.

Galaksi Induk Tidak Tampak

Teleskop Hubble diarahkan untuk mengamati lokasi semburan GRB 090429B dan tidak melihat galaksi asal semburan. Kredit : Levan / Tanvir / Cucchiara for NASA/Hubble
Meski tidak berhasil lagi mengamati cahaya yang tersisa dari semburan, tim astronom yang terdiri dari Antonino Cucchiara, Andrew Levan dari University of Warwick, Nial Tanvir dari University of Leicester, dan pemimbing thesis Derek Fox dari Penn State terus melakukan pengamatan lanjutan selama 2 tahun berikutnya. Mereka tidak mau membiarkan GRB 090429B menjadi semburan yang berlalu begitu saja. Penelitian lanjutan dilakukan untuk mencari tahu apakah GRB 090429B datang dari jarak yang luar biasa jauh dengan mengumpulkan data baru dan pengamatan yang lebih lanjut menggunakan Gemini dan Teleskop Hubble untuk mengungkap keberadaan galaksi tempat semburan terjadi.
Seandainya jarak semburan ini “dekat” tentu galaksi yang menjadi induk atau rumah bagi semburan sinar gamma tersebut akan tampak. Pada kenyataannya galaksi induk tersebut tidak tampak bahkan bagi Hubble. Semburan sinar gamma datang dari bintang yang duluya lahir, hidup dan kemudian mati dalam ledakan yang hebat hanya dalam hitungan waktu jutaan tahun. Bintang seperti ini terbentuk dalam awan gas raksasa di dalam galaksi dan akan dapat diamati dari jarak tertentu (cukup jauh) dengan menggunakan teleskop berkemampuan tinggi.
Setelah semburan ini meredup, teleskop Hubble yang diarahkan ke lokasi semburan tidak melihat apapun. Artinya, galaksi ini berada sangat jauh, dan bahkan cahayanya pun pudar dan tidak tampak lagi.

Pemegang Rekor Obyek Terjauh

Tidak terdeteksinya GRB 090429B pada cahaya tampak dan tidak tampaknya galaksi lokasi si semburan terjadi mengindikasikan kalau semburan tersebut berasal dari jarak yang sangat jauh.
Dengan kesempatan 99,3% menjadi obyek terjauh di alam semesta saat ini pada jarak 13,14 milyar tahun cahaya melebihi GRB 09042 pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya dan galaksi yang ditemukan tahun 2010-2011 pada jarak 13,07 milyar tahun cahaya.
Di balik keberadaannya yang jauh dan menjadi pemegang rekor terjauh di alam semesta saat ini, GRB 090429B memberi gambaran bagaimana ledakan sinar gamma dapat digunakan untuk mengungkap lokasi bintang-bintang masif di masa awal alam semesta dan melacak kembali proses awal pembentukan bintang dan galaksi yang kemudian berevolusi menjadi kosmos yang kaya galaksi yang kita kenal saat ini .

Tabrakan Yang Menghasilkan Gugus Pandora

Gugus Pandora, itulah nama yang diberikan para ilmuwan bagi gugus galaksi Abell 2744 yang tengah diteliti para ilmuwan saat ini. Mereka menyusun kepingan – kepingan gugus yang kompleks sekaligus juga menyusun kembali sejarahnya yang penuh kekerasan dengan menggunakan teleskop landas bumi (VLT) dan landas angkasa (Teleskop Hubble).
Tabrakan Yang Menghasilkan Gugus Raksasa
Gugus Abell 2744 yang dijuluki Gugus Pandora, merupakan gugus galaksi yang terbentuk dari tabrakan 4 gugus galaksi. Kredit :ESO
Gugus galaksi Abell 2744 bukan sekedar sebuah gugus galaksi yang berisikan galaksi-galaksi. Ia merupakan hasil gabungan setidaknya 4 gugus galaksi yang berbeda dan tabrakan yang kompleks tersebut menghasilkan efek aneh yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Saat gugus galaksi raksasa mengalami tabrakan secara bersama-sama maka kekacauan yang dihasilkan merupakan harta temuan berupa informasi bagi para astronom.  Dengan meneliti salah satu tabrakan gugus yang kompleks seperti ini, para peneliti berharap untuk menyatukan bagian-bagian sejarah tabrakan kosmik yang berlangsung selama 350 juta tahun.
Menurut Julian Merten salah satu peneliti Gugus Abell 2744, mereka bertindak seperti halnya polisi yang menyelidiki penyebab kecelakaan dari potongan-potongan informasi. Maka dalam kasus Abell 2744, para peneliti menggunakan pengamatan dari penggabungan tersebut untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi dalam selang waktu ratusan juta tahun. Dari sini bisa diketahui bagaimana struktur bisa terbentuk di alam semesta dan bagaimana materi dengan tipe berbeda bisa berinteraksi satu sama lainnya saat saling bertabrakan.
Tabrakan yang terjadi melepaskan fenomena berbeda sekaligus aneh yang belum pernah dilihat para peneliti sebelumnya seperti halnya kotak pandora yang penuh misteri. Karena itulah gugus ini kemudian diberi julukan Gugus Pandora.
Mempelajari Gugus Pandora
Perkembangan teknologi memampukan para astronom untuk mempelajari Abell 2744 dengan lebih detil. Caranya, mereka menggabungkan data yang dihasilkan oleh Very Large Telescope (VLT) milik ESO, teleskop Subaru milik Jepang,  Teleskop Ruang Angkasa Hubble milik NASA/ESA dan Chandra X-Ray Observatory milik NASA.
Citra yang dihasilkan VLT dan Hubble memperlihatkan dengan jelas keberadaan galaksi-galaksi dalam gugus. Meskipun galaksi-galaksi cukup terang dan tampak banyak pada citra namun sesungguhnya mereka hanya membentuk kurang dari 5% massa di gugus tersebut.  Selain galaksi, yang banyak terdapat pada gugus tersebut adalah gas (20%) yang sangat panas dan hanya bercahaya  pada sinar X dan materi gelap (sekitar 75%), yang tidak tampak. Untuk bisa mempelajari apa yang terjadi dalam tabrakan tersebut, para astronom harus melakukan pemetaan dari ketiga tipe materi di Abell 2744.
Dari ketiga tipe materi tersebut, materi gelap-lah yang secara umum sukar untuk dipahami karena ia tidak memancarkan, menyerap ataupun memantulkan cahaya, dan hanya menunjukkan keberadaannya dari interaksi gravitasi.
Untuk menunjukkan dengan tepat lokasi substansi misterius ini, para astronom kemudian menggunakan lensa gravitasi, yaitu pembelokan cahaya dari galaksi jauh saat melintasi medan gravitasi yang ada di dalam gugus. Hasilnya adalah serangkaian tanda distorsi pada citra galaksi di latar belakng citra yang di ambil VLT dan Hubble. Dengan melakukan plot tanda distorsiy yang terjadi pada citra, maka pemetaan untuk mengetahui keberadaan massa yang tersembunyi dapat dilakukan – dengan dmeikian bisa diketahui dimana materi gelap berada -
Sebagai perbandingan, untuk bisa menemukan keberadaan gas di dalam gugus jauh lebih mudah karena Chandra X-ray Observatory milik NASA bisa melakukan pengamatan secara langsung pada gas tersebut. Pengamatan keberadaan gas di gugus pandora ini sangat krusial bukan sekedar untuk tahu dimana gas berada tapi juga untuk menunjukkan sudut dan kecepatan dari setiap komponen yang berbeda di gugus datang bersama-sama.
Ketika Gugus Pandora disingkap..
Ketika para astronom menganalisa hasil yang mereka temukan, ada banyak fitur aneh. Tampaknya Abell 2744 terbentuk dari empat gugus yang berbeda dan melibatkan serangkaian tabrakan selama 350 juta tahun. Distribusi yang tidak merata dan rumit dari materi dengan tipe yang berbeda sangat tidak biasa ditemukan dan menjadi hal menarik untuk diselidiki lebih lanjut.
Tabrakan yang kompleks tersebut tampaknya berhasil memisahkan sebagian gas panas dan materi gelap sehingga mereka saat ini berada terpisah satu sama lainnya dan terpisah juga dari galaksi yang tampak. Gugus Pandora menggabungkan fenomena yang sebenarnya selama ini hanya tampak di sistem lain secara terpisah.
Di dekat inti gugus Pandora terdapat semacam “peluru” dimana gas salah satu gugus bertabrakan dengan gugus lainnya dan menimbulkan terjadinya gelombang kejut. Materi gelap berhasil melewati tabrakan tersebut tanpa mengalami efek apapun.  Pada bagian lain gugus, tampak ada galaksi dan materi gelap tapi tidak ada gas panas. Pada bagian tersebut, tampaknya gas telah ditiadakan selama terjadinya tabrakan dan hanya menyisakan jejak samar.
Yang lebih menarik lagi adalah fitur yang berada di bagian terluar gugus. Ada satu area yang mengandung banyak materi gelap namun tidak ada galaksi terang ataupun gas panas. Secara terpisah, sekumpulan gas terlontar dan medahului bukannya mengikuti materi gelap yang terasosiasi dengannya. Susunan yang membingungkan ini memberi informasi pada astronom tentang bagaimana perilaku materi gelap dan bagaimana berbagai materi di alam semesta berinteraksi satu sama lainnya.
Gugus galaksi merupakan struktur terbesar di kosmos yang terdiri dari trilyunan bintang. Di sini bagaimana bintang-bintang terbentuk dan membentuk kembali melalui tabrakan yang berulang-ulang memberi implikasi yang besar bagi pemahaman manusia akan Alam Semesta.

Apa Yang Membangunkan Lubang Hitam Super Masif ?

Cerita yang datang dari mata-mata di Bumi dan angkasa acap kali memberi kejutan dan pengetahuan baru bagi manusia.  Apa yang sudah diyakini ternyata bisa berbeda dari hasil pengamatan, dan itulah sains. Terus berkembang dan terus membaharui diri.

Galaksi-galaksi yang dilihat dalam cacah langit COSMOS. kredit : CFHT/IAP/Terapix/CNRS/ESO
Kali ini hasil menakjubkan yang membuka mata manusia datang dari Very Large Telescope milik ESO dan XMM-Newton X-ray Space Observatory milik ESA. Selama ini, para astronom menduga kalau lubang hitam super masif yang mengintip dari galaksi-galaksi besar selama 11 milyar tahun tersebut bisa hidup dan aktif akibat terjadinya merger atau penyatuan dengan galaksi lain. Tapi tampaknya perkiraan itu tidaklah sepenuhnya tepat.
Di jantung galaksi-galaksi besar, mengintip lubang hitam super masif yang memiliki massa jutaan sampai milyaran massa Matahari. Lubang hitam di pusat galaksi ini seagian besar merupakan lubang hitam yang tenang. Tapi berkembangnya ilmu pengetahuan yang membawa manusia mengenali cerita alam semesta di masa lalu menunjukkan hal berbeda. Setelah menelusuri ke masa lalu, para astronom menemukan galaksi terang di masa awal alam semesta memiliki monster di pusatnya yang melahap materi dengan radiasi kuat ketika materi tersebut tertarik ke lubang hitam.
Pertanyaannya, materi apakah dan dari mana asal materi yang membangunkan lubang hitam yang sedang tidur tersebut dan memicu terjadinya letusan dahsyat di pusat galaksi?
Inti Galaksi Aktif itu Bukan dari Tabrakan…
Sampai saat ini, para astronom selalu menduga kalau sebagian besar inti aktif diaktifkan ketika dua buah galaksi bergabung atau ketika dua galaksi bergerak saling mendekati sehingga menyebabkan materi yang terganggu kemudian menjadi bahan bakar bagi lubang hitam di pusat. Hasil yang didapat ke dua mata astronom di Bumi dan Ruang Angkasa ternyata menunjukkan kalau dugaan para astronom bisa saja salah untuk sebagian galaksi yang aktif.
Adalah Viola Allevato (Max-Planck-Institut für Plasmaphysik; Excellence Cluster Universe, Garching, Jerman) dan tim peneliti internasional dari COSMOS yang membawa para astronom pada paradigma yang baru tersebut. Viola dan rekan-rekannya meneliti lebih dari 600 galaksi aktif dalam proyek kolaborasi COSMOS.
Hasilnya, seperti yang sudah diduga inti aktif yang sangat aktif memang langka sementara sebagian besar galaksi aktif dalam kurun waktu 11 milyar tahun ternyata memiliki kecerlangan moderat. Yang mengejutkan, data baru menunjukkan kalau jumlah mayoritas ini berlaku umum. Galaksi aktif yang tidak terlalu terang ini ternyata tidak dipicu oleh penggabungan galaksi-galaksi.
Keberadaan inti galaksi aktif ini diungkap oleh pancaran sinar-X di sekeliling lubang hitam yang kemudian dilihat oleh teleskop landas angkasa XMM-Newton milik ESA. Galaksi ini kemudian diamati oleh Very Large Telescope milik ESO yang dapat mengukur jarak galaksi-galaksi tersebut. Hasil pengamatan memungkinkan para ilmuwan untuk membuat peta 3 dimensi keberadaan galaksi-galaksi aktif tersebut.
Butuh waktu lebih dari 5 tahun untuk menyelesaikannya namun hasilnya adalah sebuah peta yang menunjukkan keberadaan galaksi-galaksi aktif dalam sinar-X. Peta tersebut akan sangat berguna bagi para astronom untuk melihat distribusi galaksi aktif dan membandingkannya dengan dugaan yang berasal dari teori.
Peta tersebut menunjukkan perubahan dalam sebaran galaksi dengan bertambahnya usia, dari 11 milyar tahun yang lalu sampai dengan hari ini. Inti aktif banyak ditemukan dalam galaksi masif yang memiliki jumlah materi gelap yang besar. Hasil ini tentu saja jadi kejutan karena tidak sesuai dengan teori yang ada. Jika inti aktif merupakan hasil dari penggabungan atau tabrakan antar galaksi maka seharusnya mereka ditemukan dalam galaksi dengan massa moderat sekitar trilyunan kali massa Matahari. Pada kenyataannya, inti aktif ini justru ditemukan pada galaksi dengan massa 20 kali lebih besar dari nilai yang diprediksi oleh teori penggabungan.
Hasil terbaru tersebut memberi wawasan baru bagaimana lubang hitam super masif memulai saat makan mereka. Diindikasikan kalau lubang hitam medapatkan makanannya dari proses di dalam galaksi itusendiri seperti ketidakstabilan piringan dan letusan bintang sebagai teori yang berlawanan dari tabrakan galaksi.
Di masa lalu, sampai dengan 11 milyar tahun lalu, tabrakan galaksi hanya bisa memberi kontribusi sejumlah kecil presentase dari galaksi aktif dengan kecerlangan moderat. Pada masa itu, galaksi-galaksi memiliki jarak yang lebih dekat sehingga kemungkinan terjadinya penggabungan lebih sering terjadi dibanding masa sekarang. Dan hasil terbaru ini jelas memberi nuansa baru yang mengejutkan.

Pasangan Lubang Hitam Supermasif Dekat Bima Sakti

Lubang hitam, obyek yang satu ini memang menarik. Kemisteriusannya menjadi daya tarik tersendiri yang mengundang keingintahuan. Dan untuk pertama kalinya pula-lah, para astronom berhasil menemukan sepasang lubang hitam supermasif di galaksi spiral yang mirip Bima Sakti.
Ada yang menarik. Pasangan lubang hitam yang berada di galaksi spiral tersebut hanya berada pada jarak 160 juta tahun cahaya dari Bumi dan menjadikan pasangan tersebut sebagai pasangan terdekat yang diketahui memiliki fenomena sepasang lubang hitam supermasif di galaksi.
Pasangan Lubang Hitam
Citra galaksi spiral dengan sepasang lubang hitam. Kredit : X-ray: NASA/CXC/SAO/G. Fabbiano et al; Optik: NASA/STScI
Lubang hitam yang diamati oleh mata teleskop landas angkasa Chandra X-ray berada di pusat galaksi spiral NGC 3393. Keduanya terpisah oleh jarak 490 tahun cahaya dan lubang hitam tersebut tampaknya merupakan sisa dari hasil penggabungan dua galaksi dengan massa berbeda sekitar satu milyar atau lebih tahun yang lalu.
Seandainya galaksi NGC 3393 tidak berada begitu dekat, maka para astronom tidak akan memiliki kesempatan untuk melihat dan memisahkan kedua lubang hitam yang ada di pusatnya. Tim yang dipimpin Pepi Fabbiano dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA), Cambridge yang berhasil melihat sepasang galaksi tersebut memperkirakan masih ada pasangan lubang hitam lainnya yang belum ditemukan oleh para astronom.
Pada awalnya, data pengamatan sinar-X dan panjang gelombang lainnya mengindikasi keberadaan lubang hitam supermasif tunggal berada di pusat NGC 3393. Akan tetapi setelah dilakukan pengamatan dengan Chandra dalam rentang waktu lebih panjang, ternyata data yang diberikan justru menunjukkan keberadaan dua lubang hitam yang terpisah. Kedua lubang hitam ini pun masih aktif bertumbuh dan memancarkan sinar-X karena gas “terhisap” oleh lubang hitam tersebut dan menjadikan lubang hitam semakin panas.
Merger Galaksi
Ketika dua galaksi dengan ukuran yang sama bersatu, terbentuk sepasang lubang hitam dan sebuah galaksi yang penampakannya kacau dan memiliki pembentukan bintang yang intens dengan kata lain terdapat banyak bintang muda. Contoh yang cukup dikenal adalah pasangan lubang hitam supermasif di NGC 6240 yang terletak 330 tahun cahaya dari Bumi.
Kasus NGC 3393 berbeda dari yang diduga astronom. Ia adalah spiral galaksi yang teratur dan area bulge (tonjolannya) didominasi oleh bintang-bintang tua. Unik dan tidak biasa bagi galaksi yang memiliki sepasang lubang hitam. Tampaknya NGC 3393 menjadi contoh pertama dari penggabungan galaksi besar dan galaksi yang jauh lebih kecil atau disebut “merger minor” yang kemudian menghasilkan terbentuknya sepasang lubang hitam supermasif.
Menurut teori, penggabungan minor merupakan cara paling umum bagi terbentuknya pasangan lubang hitam namun kandidat yang baik sulit ditemukan karena penggabungan galaksi yang dicari itu diharapkan memiliki kekhasan tersendiri.
Penggabungan dua galaksi pada NGC 3393 tidak meninggalkan jejak dari tabrakan yang terjadi sebelumnya selain keberadaan kedua lubang hitam tersebut. Jika ada ketidakcocokan ukuran dari kedua galaksi yang bergabung maka tidak mengherankan jika setelah bergabung galaksi yang lebih besar bisa melaluinya tanpa cedera.
Jika penggabungan kedua galaksi tersebut merupakan penggabungan minor, lubang hitam dari galaksi yang lebih kecil harusnya memiliki massa yang lebih kecil dibanding pasangannya sebelum galaksi keduanya mulai bertabrakan.  Sayangnya, data massa kedua lubang hitam belum tersedia untuk menguji ide tersebut meskipun hasil pengamatan menunjukkan kalau kedua lubang hitam jauh lebih masif dari 1 juta matahari. Dan dengan asumsi kalau ini adalah penggabungan minor, maka kedua lubang hitam itu seharusnya sudah bergabung selama milyaran tahun.
Kedua lubang hitam tersebut juga tidak mudah diamati karena terhalang oleh gas dan debu yang tebal sehingga tidak terlihat dalam cahaya optik. Pengamatan dengan mata inframerah leih memungkinkan karena sinar-X lebih kuat untuk menembus materi penghalang tersebut. Spektrum yang dihasilkan Chandra X-ray sangat jelas menunjukkan keberadaan kedua lubang hitam tersebut.
Pasangan Lain di Galaksi Berbeda
Penemuan NGC 3393 memiliki kemiripan dengan “kemungkinan” pasangan lubang hitam supermasif yang ditemukan oleh tim Julia Comerford dari University of Texas di Austin dengan menggunakan data Chandra.  Sumber sinar-X yang berasal dari lubang hitam supermasif dalam sebuah galaksi yang berada 2 milyar tahun dari Bumi dan kedua lubang hitam tersebut terpisah sejauh 6500 tahun cahaya.
Seperti halnya di NGC 3393, galaksi tuan rumah tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan atau jumlah ekstrim dari pembentukan bintang. Namun, tidak ada struktur atau tanda khusus yang tampak di galaksi tersebut. Juga  salah satu sumber bisa dijelaskan oleh jet atau letusan tiba-tiba yang sangat kuat sehingga menyiratkan kalau hanya ada satu lubang hitam supermasif di galaksi itu.
Tabrakan dan penggabungan antar galaksi merupakan salah satu jalan bagi galaksi dan lubang hitam untuk tumbuh dan bagi para astronom, menemukan sepasang lubang hitam di galaksi spiral menjadi petunjuk penting bagi perjalanan manusia untuk mengetahui bagaimana semua itu terjadi.

Kisah penemuan Galaksi Bima Sakti (Bagian Pertama)

Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat, menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional, London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana memberikan nama lain untuk objek yang sama. Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles (dinamakan Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—dengan Alcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya. Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi Yunani, galaxias diadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu” dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Wayyang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang. Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Alam semesta yang dibayangkan Thomas Wright dari Durham.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham, menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola. Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa "Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messier adalah sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu” tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus. Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari. Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat, dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi. Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.” Bagi astronom Harlow Shapley, nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di kemudian hari dinamakan sebagai Debat Akbar (The Great Debate) ini, kedua pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka, akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala Galaksi dan alam semesta kita.