Pengikut

Selasa, 20 September 2011

Pemetaan Materi Gelap & Pembentukan Gugus Galaksi

Dengan menggunakan Teleskop Hubble, para astronom mengambil keuntungan dari kaca pembesar kosmik untuk membuat peta detil dari materi gelap di alam semesta.
Materi Gelap vs Energi Gelap
Dark matter atau materi gelap merupakan materi yang tidak terlihat yang mengisi sebagian besar massa alam semesta. Pengamatan materi gelap yang dilakukan ini diharapkan dapat membawa perspektif baru mengenai peran energi gelap dalam tahun-tahun awal pembentukan alam semesta.
Hasil yang didapat menunjukkan kalau gugus galaksi bisa jadi terbentuk lebih awal dari yang diperkirakan, sebelum dorongan energi gelap menghambat pertumbuhan mereka. Sebuah peristiwa yang misterius di ruang angkasa, ketika energi gelap melawan gaya tarik gravitasi dari materi gelap. Energi gelap mendorong galaksi hingga terpisah satu sama lainnya dengan meregangkan ruang di antara mereka sehingga menekan pembentukan struktur raksasa yang dikenal sebagai gugus galaksi.
Abell 1689 yang dilihat Hubble. Kredit : NASA, ESA, and D. Coe (NASA JPL/Caltech and STScI)
Salah satu cara yang digunakan astronom untuk menelusuri perang gaya tarik purba ini adalah melalui pemetaan distribusi materi gelap di dalam gugus.
Untuk itu tim peneliti yang dipimpin oleh Dan Coe dari NASA JPL melakukan pengamatan dengan menggunakan Advanced Camera for Surveys pada Hubble untuk melakukan pemetaan materi tak terlihat dalam gugus galaksi masif Abell 1689, yang berada pada jarak 2,2 milyar tahun cahaya.
Gravitasi gugus tersebut sebagian besar berasal dari materi gelap yang bertindak sebagai kaca pembesar kosmik, lentur dan melakukan penguatan cahaya dari galaksi jauh yang ada di belakangnya. Efek yang dikenal dengan nama lensa gravitasi ini menghasilkan beberapa citra melengkung yang diperbesar dari galaksi-galaksi tersebut layaknya tampilan cermin funhouse.
Dengan mempelajari citra yang terdistorsi, astronom bisa menghitung jumlah materi gelap yang ada di dalam gugus. Jika gravitasi gugus hanya berasal dari galaksi tampak, distorsi yang terjadi pada lensa akan jauh lebih emah.
Berdasarkan peta massa resolusi tinggi inlah, Coe dan rekan-rekannya bisa melakukan konfirmasi atas hasil yang sudah ada sebelumnya dan menunjukkan kalau inti Abell 1689 memiliki kerapatan lebih tinggi dalam hal materi gelap untuk gugus seukuran dirinya, berdasarkan simulasi komputasi pertumbuhan struktur.  Penemuan ini cukup mengejutkan karena dorongan energi gelap di awal sejarah pembentukan alam semesta seharusnya menghambat pertumbuhan gugus galaksi.
Karena itulah, gugus galaksi harus sudah mulai terbentuk milyaran tahun lebih awal agar dapat  mencapai jumlah yang kita ketahui saat ini. Di masa awal, alam semesta jauh lebih kecil dan lebih padat dengan materi gelap. Abell 1689 tampaknya telah cukup terisi saat lahir dengan materi berkerapatan tinggi yang ada disekelilingnya pada masa alam semesta dini. Gugus ini tetap membawa materi-materi itu sampai pada kehidupan dewasanya yang diamati saat ini.

Memetakan Yang Tak Mungkin

Abell 1689 merupakan gugus lensa gravitasi paling kuat yang pernah diamati. Observasi yang dilakukan Coe yang kemudian digabungkan dengan penelitian sebelumnya menghasilkan 135 citra yang berbeda dari 42 galaksi latar belakang,
Hasilnya? Lensa citra yang penuh teka teki. dari sinilah para peneliti kemudian mulai mengatur massa Abell 1689 dengan lensa galaksi latar belakang pada posisi yang diamati seperti menyusun sebuah puzzle. Dari sinilah Coe mendapatkan informasi untuk menghasilkan peta resolusi tinggi dari distribusi materi gelap dalam gugus.
Di masa depan, astronom merencanakan untuk memperlajari lebih banyak gugus galaksi untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam akan pengaruh energi gelap. Salah satu program yang akan dilakukan Hubble adalah untuk menganalisa materi gelap pada gugus galaksi raksasa dalam project Cluster Lensing and Supernova survey with Hubble (CLASH).
Survei ini akan dilakukan pada 25 gugus selama 1 bulan sepanjang 3 tahun ke depan. Gugus CLASH dipiliha karena mereka memancarkan sinar-X yang kuat sehingga bisa mengindikasikan keberadaan gas panas dalam jumlah besar di dalam gugus. Kelimpahan gas panas menunjukkan juga kalau gugus tersebut sangat masif.
Dengan melakukan pengamatan pada gugus galaksi, para astronom akan dapat memetakan distribusi materi gelap dan mendapatkan bukti dari pembentukan gugus galaksi awal disertai informasi dari energi gelap di masa awal pembentukan gugus tersebut.\

Memburu materi gelap: Satu gejala, Tiga teori

Bayangkan bila pada suatu hari kita mengetahui bahwa di tanah kosong di seberang rumah kita terdapat rumah yang ukurannya sama persis dengan rumah kita namun tersusun atas bahan tak terlihat. Bahan ini tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Berita seperti ini pastilah mengagetkan.
Situasi seperti inilah yang dihadapi astronomi modern saat ini. Pengamatan modern menunjukkan bahwa hampir 95 persen dari alam semesta kita tersusun atas materi yang tak bisa kita pahami. Tentu saja bagi seorang astronom hal ini sangat mengagetkan. Semua yang kita amati di alam ini: planet, bintang, galaksi, gas dan debu, hanyalah 5 persen dari keseluruhan kandungan alam semesta. Astronom Inggris Martin Rees berkata, “cukup memalukan mengetahui bahwa 90% alam semesta ternyata belum diketahui.” Namun inilah ilmu pengetahuan, selalu menemukan hal baru untuk dijelajahi. Penelitian mengenai hakikat materi gelap dan energi gelap kini menempati garda depan penelitian astronomi.

Pengamatan materi gelap


Gugus Galaksi Coma dipotret oleh Teleskop Antariksa Hubble. Hampir semua objek yang ada di foto ini adalah Galaksi, masing-masing mengandung milyaran bintang. Galaksi-galaksi ini saling berinteraksi satu sama lain dalam ikatan gravitasi. Sumber: APOD.
Indikasi pertama mengenai adanya materi gelap diamati hampir 80 tahun lalu ketika astronom Swiss keturunan Bulgaria, Frits Zwicky, meneliti gerak galaksi-galaksi anggota Gugus Galaksi Coma. Dengan menggunakan spektrograf, Zwicky mengukur kecepatan gerak tujuh galaksi anggota gugus ini lalu—dengan menggunakan Hukum Newton—menghitung massa total Gugus ini berdasarkan kecepatan gerak mereka. Selanjutnya Zwicky mengukur seberapa terang galaksi-galaksi yang sama lalu menghitung berapa massa total Gugus berdasarkan kecerlangannya. Ternyata, “massa dinamika”, yaitu massa yang dihitung dari gerak galaksi-galaksi tersebut, empat ratus kali lebih besar daripada “massa cerlang” yang dihitung dari kecerlangan mereka!

Fritz Zwicky. Ini foto beliau yang sebenarnya, orangnya memang demikian.
Zwicky mengumumkan penemuan ini di hadapan rekan-rekannya dan menyimpulkan adanya “materi gelap” (istilah “materi gelap” atau dark matter diciptakan oleh Zwicky) yang tak bisa dideteksi instrumen namun bisa dirasakan pengaruh gravitasinya. Penemuan ini tak dipedulikan oleh rekan-rekannya karena pengukuran pada masa itu masih kurang teliti untuk bisa meneliti objek seredup Gugus Galaksi Coma, sehingga hasil-hasil Zwicky lebih dianggap sebagai efek kesalahan instrumen ketimbang sebuah gejala yang riil. Terlebih lagi, bagi banyak orang Zwicky bukanlah karakter yang menyenangkan karena sikapnya yang—dalam istilah orang Indonesia—nyolot. Tidak hanya ia pernah mengajak rekannya berkelahi namun juga ia sering menunjukkan kekuatan fisiknya dengan melakukan push-up satu tangan di ruang dosen Caltech, membuat beberapa rekannya merasa terancam dan tidak mau lagi bekerja sama dengannya. Namun demikian, Zwicky adalah astronom yang brilian dan kreatif. Ia tidak takut salah bila mencoba solusi yang dianggap tak wajar. Tidak hanya “materi gelap,” istilah “supernova” juga adalah buah tangannya.

Vera Rubin mengukur spektrum galaksi di tahun 1970an. Pada tahun 1948 ia ditolak masuk Universitas Princeton karena perempuan dianggap tidak mampu menempuh program pascasarjana. Ia memperoleh gelar PhD dari Universitas Georgetown pada tahun 1954.
Selama setengah abad berikutnya ide mengenai materi gelap dilupakan, sampai Vera Rubin—satu dari sedikit astronom perempuan pada masa itu—meneliti gerak bintang dan gas di beberapa galaksi di sekitar Galaksi Bima Sakti. Dengan menggunakan spektrograf, Rubin mengamati kecepatan gerak bintang-bintang di beberapa bagian dalam sebuah galaksi. Menurut Hukum Newton, semakin jauh sebuah objek berlokasi dari sebuah konsenstrasi massa, semakin lambat kecepatannya. Bumi, misalnya, bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan rata-rata 30 km/s. Namun, Jupiter, karena letaknya lima kali lebih jauh dari jarak Bumi-Matahari, bergerak lebih lambat dengan kecepatan rata-rata 13 km/s. Hal yang sama juga berlaku dalam sistem galaksi. Kita melihat bahwa daerah pusat galaksi spiral lebih terang daripada daerah piringannya, dan semakin ke pinggir kecerlangan sebuah galaksi semakin meredup. Oleh karena itu wajarlah bila kita menyimpulkan bahwa lebih banyak massa terkonsentrasi di pusat galaksi daripada di pinggir, dan kita mengharapkan bahwa kecepatan rotasi bintang-bintang di pinggir galaksi akan lebih lambat daripada kecepatan rotasi bintang-bintang yang lebih ke pusat.
Akan tetapi kenyataan yang diamati Rubin sangatlah berbeda. Bintang-bintang di pinggir galaksi bergerak sama cepatnya dengan bintang-bintang yang lebih dekat ke pusat galaksi! Apabila bintang-bintang di pinggiran galaksi bergerak secepat ini, maka mereka seharusnya tercerai-berai. Namun tidak ada indikasi yang menunjukkan ini dan mereka tetap bergerak secara teratur, seolah-olah ada massa tambahan yang “mengikat” mereka sehingga tetap stabil. Adanya “massa tambahan” inilah yang kemudian dijelaskan sebagai adanya materi gelap.

Kurva rotasi Galaksi Bima Sakti. Sumber: Nick Strobel, www.astronomynotes.com
Dengan mengukur kecepatan rotasi di beberapa tempat di sebuah galaksi, Rubin dapat membuat sebuah grafik seperti di atas yang memetakan kecepatan rotasi galaksi di beberapa tempat relatif terhadap jaraknya dari pusat galaksi tersebut. Grafik seperti ini disebut kurva rotasi. Bila kita menghitung kecepatan rotasi hanya berdasarkan massa yang kita lihat yaitu bintang, gas, dan debu, maka kecepatan rotasi seharusnya menurun seiring dengan semakin jauhnya objek dari pusat galaksi. Namun kenyataannya kecepatan orbit objek-objek yang jauh dari pusat galaksi sama besarnya dengan kecepatan orbit objek-objek yang lebih dekat. Rubin memperkirakan bahwa massa tambahan yang tak terlihat ini mencapai 10 kali lipat dari massa yang terlihat dan terkonsentrasi di daerah tepi galaksi, di daerah yang disebut halo galaksi.

Komposisi alam semesta berdasarkan pengamatan dan perhitungan modern.
Keberadaan materi gelap kini tak bisa disangkal lagi karena pengamatan Vera Rubin lalu dikonfirmasi oleh astronom-astronom lain yang melakukan penelitian serupa pada galaksi-galaksi lain. Perhitungan modern kini menunjukkan bahwa alam semesta yang kita amati hanyalah sekitar 5% saja dari komposisi total alam semesta, sementara sekitar 25% adalah materi gelap dan 75% adalah “energi gelap” yang bertanggung jawab atas dipercepatnya ekspansi alam semesta.
Berikut ini saya akan membahas tiga calon penjelasan untuk “materi gelap,” tanpa ada urutan tertentu.

Teori pertama: Materi gelap adalah MACHO

“Massa yang hilang” ini dijelaskan secara sederhana sebagai objek-objek yang punya massa besar, sangatlah padat (compact), namun tak bercahaya atau sangat redup sehingga berada di luar batas kepekaan instrumen yang ada. Objek-objek seperti ini antara lain bintang katai putih, bintang katai merah, bintang neutron, bintang katai coklat, planet-planet raksasa seukuran Jupiter, dan lubang hitam ukuran kecil. Bila benda-benda ini jumlahnya sangat banyak, melebihi materi-materi lain yang bercahaya yang bisa kita amati, maka gabungan total massa keseluruhan objek-objek ini dapat secara gravitasional mempengaruhi dinamika di dalam sebuah galaksi dan menjelaskan dari mana asal “tambahan massa” dalam kurva rotasi. Berdasarkan petunjuk dari kurva rotasi, objek-objek ini pastilah terserak di penjuru galaksi namun akan terkonsentrasi di daerah halo. Itulah sebabnya mengapa objek-objek ini secara kolektif dinamakan sebagai MACHO atau MAssive Compact Halo Objects (Objek halo masif dan padat).

Prinsip pengamatan microlensing
Karena MACHO adalah objek yang padat, maka medan gravitasinya sangat kuat sehingga dapat membelokkan jalannya cahaya. Medan gravitasi ini dapat berfungsi sebagai lensa untuk memfokuskan cahaya yang melewati MACHO. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar di samping. Apabila sebuah MACHO (dalam contoh ini adalah sebuah katai coklat) lewat di antara kita dan sebuah bintang, maka cahaya yang berasal dari bintang tersebut selama beberapa saat akan terfokus ke arah kita sebagai pengamat dan akibatnya bintang akan menjadi nampak lebih terang selama beberapa saat, lalu meredup dan kecerlangannya kembali ke semula. Apabila kita mengamati porsi langit yang cukup besar dalam waktu yang lama, bukan tidak mungkin kita akan dapat mengamati peristiwa ini. Tekniknya dengan demikian adalah menggunakan teleskop yang medan pandangnya luas dan detektor yang sangat sensitif dan dengan demikian dapat mengambil gambar dalam waktu eksposur yang sangat singkat dan terus menerus sepanjang malam, dan juga dilakukan secara otomatis dan terprogram. Salah satu program semacam ini adalah Proyek OGLE yang diprakarsai oleh Universitas Warsaw, Polandia. Hampir dua puluh tahun OGLE beroperasi, mereka tidak hanya berhasil menemukan sejumlah peristiwa microlensing yang diakibatkan oleh lewatnya MACHO, namun juga sejumlah planet ekstrasolar sebagai hasil sampingan.
Penemuan objek-objek MACHO melalui microlensing menunjukkan bahwa mereka memang ada, namun bukanlah satu-satunya materi gelap dan terlebih lagi bukanlah komponen paling dominan. Hal ini karena partikel-partikel dasar penyusun MACHO adalah partikel-partikel baryon dan jumlah total mereka di alam semesta tidak cukup besar untuk dapat dianggap materi gelap. Baryon adalah partikel apapun yang tersusun atas tiga quark, atau dengan kata lain adalah partikel biasa yang kita ketahui selama ini: proton dan neutron. Kelimpahan total partikel baryon di alam semesta ini dapat diperkirakan dari perhitungan pembentukan atom-atom dasar pada waktu-waktu awal sesudah Big Bang terjadi (disebut juga nukleosintesis Big Bang), dan jumlah massa total partikel baryon tidak cukup untuk menjelaskan massa total materi gelap. Jumlah total partikel baryon paling-paling hanya 10 persen saja dari total materi gelap dan oleh karena itu sisanya kemungkinan bisa dijelaskan oleh adanya partikel nonbaryon yang eksotik dan belum diketahui keberadaannya.

Teori kedua: Materi gelap adalah WIMP

Alternatif kedua untuk menjelaskan materi gelap adalah keberadaan partikel-partikel nonbaryon. Partikel nonbaryon adalah partikel selain dari proton dan neutron: bisa neutrino, elektron bebas, atau partikel-partikel eksotik lain seperti partikel-partikel supersimetri atau aksion. Partikel ini haruslah berinteraksi melalui gaya nuklir lemah dan gravitasi, tidak melalui gaya elektromagnetik karena bila demikian pastilah kita bisa mendeteksi mereka. Selain berinteraksi lemah, partikel ini juga harus masif relatif terhadap partikel-partikel lainnya. Itulah sebabnya, agar kontras dengan MACHO, partikel ini kita namakan WIMP atau Weakly Interacting Massive Particles (Partikel masif yang berinteraksi lemah).

WIMP adalah neutrino?

Berhubung partikel WIMP hanya berinteraksi oleh gaya nuklir lemah dan gravitasi, maka mendeteksi partikel ini—apabila ada—juga sangat sulit. Salah satu kandidat partikel WIMP berdasarkan persyaratan ini tidak lain adalah neutrino. Partikel ini tidak bermuatan listrik (netral) dan oleh karena tidak berinteraksi lewat gaya elektromagnetik dan hanya berinteraksi lewat gaya nuklir lemah. Neutrino memiliki massa, walaupun sangat kecil, dan oleh karena itu dapat berinteraksi secara gravitasi dengan objek-objek lain. Apabila neutrino tersedia dalam jumlah berlimpah di alam ini, mungkinkah agregat massa totalnya dapat mengisi “massa tambahan” yang diperlukan? Untuk menjawab ini, kita harus dapat memperkirakan berapa massa total seluruh neutrino di alam ini. Perhitungan ini dapat didekati dengan mencoba mendeteksi neutrino dari sumber-sumber neutrino di sekitar kita, antara lain dari Matahari dan dari supernova terdekat.
Salah satu percobaan pertama untuk mendeteksi neutrino dilakukan oleh astrofisikawan Ray Davis, Jr. dan John Bahcall di dasar Tambang Emas Homestake di Dakota Selatan, Amerika Serikat. Di dasar tambang yang tergelap dan jauh dari gangguan radiasi lain yang dapat mengganggu percobaan, sebuah tangki 100 000 gallon diisi penuh cairan pencuci baju. Sekali waktu neutrino yang datang dari Matahari dan melewati tangki ini akan mengubah Klorin dalam cairan ini menjadi Argon. Secara berkala cairan ini diayak untuk memisahkan Klorin dari Argon, dan dari jumlah Argon yang ditemukan kita dapat memperkirakan berapa jumlah neutrino yang melewati tangki tersebut. Untuk pertama kalinya percobaan ini berhasil membuktikan keberadaan neutrino.
Namun demikian, neutrino kemungkinan besar bukan partikel materi gelap. Berdasarkan simulasi komputer penciptaan struktur skala besar dan galaksi-galaksi di alam semesta dini, peran neutrino sebagai materi gelap gagal menciptakan struktur skala besar dan galaksi-galaksi yang konsisten dengan apa yang kita amati dewasa ini. Pembentukan struktur dan galaksi berlangsung terlalu lama atau bahkan kebalikannya yaitu terlalu banyak galaksi. Oleh karena itu neutrino sebagai materi gelap kini semakin ditinggalkan dan para astronom beralih ke partikel nonbaryon lainnya yaitu partikel supersimetri.

WIMP adalah partikel supersimetrik?

Dalam teori fisika, supersimetri (atau biasa disingkat SUSY) mengandaikan adanya pasangan untuk setiap partikel elementer. Pasangan ini disebut superpartner dan memiliki karakteristik yang sama (massa dan bilangan kuantum), hanya saja bilangan spin mereka berbeda sebesar 1/2. Kurang lebih delapan puluh tahun lalu, Paul Dirac melipatgandakan jumlah materi yang diketahui saat itu dengan memprediksikan keberadaan antimateri, sekarang jumlah materi ini harus dilipatgandakan lagi oleh teori supersimetri—bila teori ini nantinya terbukti benar. Partikel supersimetri yang menjadi kandidat terkuat adalah Neutralino. Partikel ini tercipta pada saat alam semesta masih berusia dini dan saat ini—bila mereka memang betul-betul ada—dapat dideteksi melalui dua cara: melalui detektor kriogenika di bawah tanah atau melalui teleskop neutrino.

Di sebelah kiri adalah partikel-partikel standard yang selama ini kita ketahui, terbagi atas keluarga quark (kuning), keluarga lepton (merah), boson pembawa gaya alias gauge boson (hijau), dan Boson Higgs (biru). Di sebelah kanan adalah superpartner mereka atau disebut juga partikel-partikel SUSY (supersimmetry). Superpartner identik dengan pasangannya, kecuali bilangan spin mereka yang berbeda sebesar 1/2.
Salah satu eksperimen yang bertujuan mendeteksi neutralino melalui kriogenika adalah CDMS atau Cryogenic Dark Matter Search. Berlokasi jauh di bawah tanah di Minnesota, Amerika Serikat, instrumen CDMS menggunakan substrat kristal Germanium dan Silikon yang didinginkan hingga suhunya hanya 1/50000 derajat Kelvin. Pada suhu sedingin ini, atom-atom Germanium dan Silikon dalam substrat kristal ini tidak lagi bergerak dan bersusun membentuk kisi-kisi. Bila partikel neutralino melewati kisi-kisi ini, kisi-kisi ini akan meregang seperti senar gitar dipetik dan akan bergetar sebelum akhirnya kembali diam ke posisi semula. Redaman ini akan melepaskan energi panas berwujud fonon, dan akan dapat dideteksi oleh lapisan tungsten di permukaan detektor. Untuk menjaga suhu detektor tetap stabil dan mengurangi kemungkinan detektor ini mendeteksi sesuatu partikel lain selain neutralino, detektor ini dilapisi berbagai lapisan insulasi yang dapat mencegah panas dari berbagai sumber memasuki detektor dan juga mencegah partikel selain neutralino menembus detektor.
Percobaan CDMS berusaha mendeteksi partikel WIMP secara langsung. Cara lain untuk mendeteksi partikel WIMP secara tidak langsung adalah dengan mengamati reaksi penghilangan WIMP menjadi partikel lain yang dapat dideteksi. Cara ini dilakukan antara lain dengan mengamati neutrino energi tinggi dari Matahari. Objek-objek bermassa besar seperti Matahari dapat menangkap neutralino dan menggiringnya ke arah inti Matahari. Di dalam inti Matahari, neutralino dapat saling bertumbukan dan menghilangkan sesamanya, dan menghasilkan neutrino. Pada inti Matahari, reaksi nuklir penggabungan empat inti hidrogen menjadi satu inti helium juga menghasilkan neutrino, namun energi neutrino ini kira-kira seribu kali lebih lemah daripada neutrino yang dihasilkan dari tumbukan neutralino. Neutrino energi tinggi hasil tumbukan neutralino ini kemudian akan melesat ke segala arah, namun sebagian akan mencapai Bumi dan akan dapat dideteksi oleh berbagai teleskop neutrino energi tinggi, misalnya Teleskop Neutrino ANTARES yang beroperasi di dasar Laut Tengah atau IceCube yang beroperasi di lapisan es di Kutub Selatan.

Teori ketiga: Materi gelap tidak ada

Penjelasan ketiga adalah materi gelap tidak ada dan gejala “massa tambahan” dalam kurva rotasi dijelaskan secara sederhana sebagai kurangnya pemahaman kita akan Hukum Ketiga Newton, dan oleh karena itu di hadapan gejala ini perlulah dimodifikasi. Konsep ini diajukan oleh Moti Milgrom dan ia menamakannya MOND atau MOdified Newtonian Dynamics (Dinamika Newton yang Dimodifikasi). Milgrom menjelaskan bahwa Hukum Ketiga Newton yang selama ini kita gunakan berlaku hanya untuk percepatan besar namun perlu diberi parameter tambahan bila kita meninjau percepatan yang sangat kecil. Jadi untuk kasus percepatan kecil, Hukum Ketiga Newton bukan lagi F = ma, tetapi F = m a2/a0, di mana a0 adalah sebuah konstanta percepatan yang besarnya kira-kira sekitar 10-8 cm s-2.

Gejala "massa yang hilang'' cenderung muncul pada sistem yang memiliki percepatan kecil (di samping kiri garis tegas vertikal). Oleh karena itu muncul ide bahwa Hukum Ketiga Newton perlu dimodifikasi untuk kasus percepatan kecil. Sumber: Majalah Science, 2009.

Kurva rotasi yang diprediksi MOND (titik-titik biru) cocok dengan kurva rotasi yang diamati (garis tegas). Ini adalah kasus untuk NGC1650, dan berhasil juga untuk galaksi-galaksi lain. Sumber: Majalah Science (2009)
Dengan menggunakan MOND, kurva rotasi dapat dijelaskan dengan baik sekali dan dihitung hanya dengan menggunakan massa baryonik. MOND juga memprediksikan adanya galaksi dengan kecerlangan rendah, dan juga gejala-gejala lain yang belum dapat diprediksi teori-teori materi gelap. Dengan mempelajari secara sistematik kurva rotasi galaksi-galaksi, nilai skala akselerasi dapat dipertajam harganya menjadi a0 ~ 1.2 x 10-8 cm s-2 dan ternyata nilainya serbasama untuk seluruh galaksi.
Namun demikian, MOND bukannya tanpa masalah. Usaha untuk menjelaskan kecepatan gerak gugus-gugus galaksi ternyata tidak berhasil dan kita harus menggunakan nilai berbeda a0, atau bahkan harus mengasumsikan keberadaan sejumlah kecil materi gelap. Dan yang terutama, MOND hanyalah teori fenomenologi yang bersifat empirik dan belum punya dasar fisika. Salah satu ujian terpenting bagi MOND adalah ia harus diperluas agar dapat bekerja juga dalam kerangka Relativitas Umum yang memandang gravitasi sebagai sebuah gejala geometri ruang-waktu.
Pengembangan MOND ke dalam kerangka Relativitas Umum diajukan oleh fisikawan Jacob Bekenstein dalam sebuah makalah yang diterbitkan tahun 2004. Teori yang diajukan Bekenstein ini dinamakan TeVeS atau Tensor-Vektor-Skalar. Teori TeVeS dianggap cukup lengkap dan terdefinisi dengan baik dan dapat digunakan memprediksikan gejala-gejala yang terjadi dalam skala kosmologi, yang terpenting adalah pembentukan struktur skala besar pada masa awal-awal alam semesta.
Penggunaan TeVeS untuk mensimulasi pembentukan struktur skala besar menunjukkan hasil yang kurang lebih sepadan dengan apa yang diamati sekarang. Akan tetapi, agar TeVeS bisa konsisten dengan data pengamatan, dibutuhkan keberadaan medan gravitasi tambahan yang perilakunya ternyata menyerupai materi gelap dalam wujud neutrino. Secara prinsip hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip MOND namun tidaklah seelegan ide awal MOND yang dimaksudkan sebagai konsep yang sama sekali tidak membutuhkan materi gelap.

Diskusi

Hingga saat ini, data pengamatan mengindikasikan bahwa jika materi gelap memang ada, maka wujudnya adalah partikel nonbaryonik yang eksotik dan berinteraksi dengan “materi normal” melalui gravitasi dan tidak secara elektromagnetik. MACHO dan neutrino boleh jadi adalah materi gelap juga walaupun bukanlah komponen yang paling dominan. Partikel-partikel supersimetrik dengan demikian adalah kandidat terkuat sebagai “materi gelap” dan masih menunggu untuk ditemukan melalui eksperimen-eksperimen fisika dan astronomi. Di satu sisi, bila materi gelap tidak ada dan yang kita butuhkan adalah modifikasi Hukum Newton, maka MOND dapat diuji dengan melakukan serangkaian pengamatan lensa gravitasi dan radiasi latar (CMB atau Cosmic Microwave Background) untuk meneliti efek TeVeS pada pelensaan gravitasi.
Inilah ilmu pengetahuan, dibangun melalui perbedaan pendapat dan kreativitas, namun alamlah yang menjadi hakim.

Galaksi Tertua Yang Kesepian di Awal Alam Semesta

Astronom memang tidak mengetahui dengan tepat kapan bintang pertama lahir di alam semesta. Namun setiap langkah lebih auh dari Bumi akan membawa manusia masuk lebih dalam ke tahun-tahun awal pembentukan bintang dan galaksi yang terjadi setelah terjadinya Dentuman Besar.

Kandidat galaksi tertua yang dipotret Hubble. Kredit : NASA/ESA/Garth Illingworth (UCSC)/Rychard Bouwens (UCSC/Leiden University)/HUDF09 Team
Sebelumnya telah diklaim bahwa galaksi terjauh yang ditemukan memiliki pergeseran merah 8,6 dan berusia 600 juta tahun semenjak terjadinya Dentuman Besar. Kali ini ada sebuah galaksi lainnya yang lebih tua dan memiliki pergeseran merah lebih besar yang berhasil dilihat Teleskop Hubble.
Obyek redup yang ternyata merupakan galaksi dengan bintang-bintang bitu tersebut berada pada jarak 13,2 milyar tahun cahaya dari Bumi dan memiliki pergeseran merah 10,3. Dengan demikian ketika manusia pertama kali melihat cahayanya si obyek ini diperkirakan berusia 480 juta tahun semenjak terjadinya Dentuman Besar. Atau sekitar 150 juta tahun lebih tua dari galaksi tertua sebelumya.  Penemuan ini menunjukkan kalau gambaran alam semesta saat muda jauh lebih kosong dari yang diperkirakan sebelumnya.
Galaksi Tertua
Galaksi yang tampak hanya sendirian tersebut dilihat oleh Hubble Ultra Deep FIeld, pencitraan infra merah dari langit malam yang terdiri dari obyek – obyek paling redup dan paling jauh yang bisa dipotret sampai saat ini.
Dalam penelitian ini,  Rychard Bouwens dari Universitas Leiden bersama rekan-rekannya menentukan jarak si galaksi dengan menggunakan pengukuran redshift atau pergeseran merah. Saat alam semesta mengembang dan obyek di dalamnya bergerak menjauh, pengamat mengamati cahaya dari sumber yang sangat jauh yang terentang lebih panjang dari panjang gelombang yang seharusnya dan menuju arah merah dari spektrum elektromagnetik.
Tim ini mencari obyek yang cahayanya sudah mengalami pergeseran merah yang artinya sudah tidak berada dalam panjang gelombang optik di spektrum dan berada pada panjang gelombang infra merah. Galaksi purba yang ditemukan ini berada sangat terpencil dan cahayanya hanya bisa terdeteksi pada panjang gelombang inframerah terpanjang yang bisa dilihat Hubble.
Karena jaraknya yang jauh, informasi yang diterima oleh pengamat berasal dari keberadaannya di masa awal alam semesta atau sekitar 480 juta tahun setelah Dentuman Besar. Periode ini berada pada batas kemampuan pengamatan Hubble, namun pemodelan yang dilakukan menunjukkan teleskop Hubble seharusnya masih bisa mendeteksi beberapa galaksi lagi dari periode waktu yang sama dan bukan hanya satu galaksi.
Kondisi yang hampir mandul pada epoh tersebut jelas sekali bertolak belakang dengan periode 650 juta tahun setelah Dentuman Besar, dimana tim peneliti sudah berhasil menemukan sekitar 60 galaksi.
Obyek terjauh yang dilihat Hubble. Obyek yang juga galaksi di masa awal setelah alam semesta terbentuk, tampak sebagai gumpalan merah redup dalam pemotretan ultra deep field. Diketahui obyek tersebut berada pada jarak 13,2 milyar tahun cahaya. Kredit: NASA, ESA, G. Illingworth (University of California, Santa Cruz), R. Bouwens (University of California, Santa Cruz, & Leiden University), dan tim HUDF09
Kedipan Kosmik
Obyek yang dilihat Hubble tampak sebagai titik redup. Ia tampak terlalu muda dan terlalu kecil untuk memiliki bentuk spiral yang umumnya menjadi karakteristik sebuah galaksi dalam alam semesta lokal. Meskipun Hubble tidak dapat melihat bintang-bintang di dalamnya, bukti yang ada jelas menujukkan kalau obyek ini merupakan galaksi kompak dengan bintang panas yang terbentuk lebih dari 100 – 200 juta tahun sebelumnya dari gas yang terperangkap dalam kantung materi gelap.
Hasil penglihatan Hubble sekaligus menunjukkan dalam kurun waktu kurang dari 200 juta tahun dengan satu kedipan mata kosmik, galaksi-galaksi besar terbentuk dengan cepat dari beberapa galaksi kecil. Laju pembentukan bintang juga meningkat sepuluh kali lipat. Jelas ini adalah sebuah perubahan yang sangat dramatis yang mengambil alih keadaan pada periode itu.
Satu hal yang menjadi tanda tanya sekaligus misteri adalah kurangnya galaksi di periode itu. Pada kisaran periode tersebut, radiasi ultraungu memisahkan banyak sekali hidrogen netral di alam semesta menjadi komponen penyusunnya yakni proton dan elektron. Sebuah proses yang dikenal sebagai reionisasi. Jika ini tidak terjadi, maka kita akan melihat lebih sedikit di alam semesta dari yang bisa kita tangkap saat ini. Hal ini disebabkan oleh hidrogen netral yang sangat efektif dalam menyerap cahaya pada berbagai panjang gelombang.
Menurut Garth Illingworth dari University of California, Santa Cruz yang juga bagian dari tim peneliti, “jika penemuan tim ini benar, maka tentunya tidak ada cukup banyak bintang disekitarnya yang bisa digunakan untuk membangkitkan keadaan ke tingkat radiasi ultraungu  yang dibutuhkan untuk reionisasi”.  Sumber lainnya seperti active galactic nuclei atau sebuah area  kompak di pusat galaksi yang bersinar sangat terang di sebagian atau di seluruh area spektrum elektromagnetik bisa jadi ikut menyediakan radiasi ekstra.  Yang jadi masalah, active galactic nuclei atau AGN ini menerima energi dari lubang hitam supermasif yang diperkirakan belum memiliki waktu yang cukup untuk terbentuk pada era tersebut.
Mendorong Batas…
Hasil yang didapat Hubble tidak serta merta disetujui oleh semua peneliti.  Menurut James Dunlop dari University of Edinburgh, UK, “data yang didapat Hubble sebenarnya tidak mampu untuk mengkonfirmasi keberadaan obyek dengan pergeseran merah yang sedemikian besar dalam panjang gelombang pendek, karena itulah para peneliti sering kali menghindari metode ini. Apalagi Hubble harus mendorong dirinya untuk bisa menerjemahkan data yang berada pada batasan kemampuannya, karena ia pada dasarnya tidak dirancang untuk itu”.
James Dunlop memang skeptis dengan keberadaan galaksi jauh yang pergeseran merahnya sedemikian besar berdasarkan laporan para peneliti. Menurutnya bisa jadi itu merupakan noise atau gangguan yang menginterfensi hasil pengamatan Hubble.
Tapi di sisi lain, ada juga tim penelitia lain yang menemukan kalau pada periode tersebut ada beberapa galaksi lainnya dari data pengamatan yang sama yang didapat Hubble. Tim ini mendeteksi setidaknya ada 10 obyek yang berpotensi sebagai galaksi pada pergeseran merah yang sama. Jika apa yang dianalisa tim ini benar maka tentu laju peningkatan galaksi antara masa 480 juta tahun dan 650 juta tahun setelah kelahiran alam semesta lebih lambat dari yang diperkirakan oleh Bouwens dan timnya.
Analisis lain dengan menggunakan laju ledakan supernova langka yakni yang dikenal sebagai ledakan sinar gamma dilakukan untuk menentukan laju pembentukan bintang di masa awal alam semesta. Analisa ini menunjukan keberadaan sejumlah besar galaksi pada periode tersebut. Dan menurut John beacom dari Ohio State University di Columbus, tim peneliti yang menemukan galaksi tertua ini belum menemukan semua bintang yang ada di masa awal alam semesta.
Yang jelas, penemuan yang dibuat Hubble ini sangat menarik namun dibutuhkan pengamatan lanjutan yang akan bisa membawa astronom pada temuan baru yang mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan seperti apa kondisi awal alam semesta. Dan misi ini akan dilanjutkan oleh James Webb Space Telescope.
Rychard Bouwens  juga berharap JWST dapat memberi jawaban sekaligus memberi informasi yang dapat menjelaskan ketidaksesuaian yang diperoleh saat ini.  Akan ada lebih banyak data karena ini bukanlah sebuah hasil akhir.

Jumlah Materi Gelap Untuk Pembentukan Bintang Dalam Galaksi

Herschel Space Observatory milik ESA yang bekerjasama dengan NASA, berhasil mengungkap berapa banyak materi gelap yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi baru yang penuh bintang.
Animasi yang menunjukkan distribusi materi gelap pada pergeseran merah 2 saat alam semesta baru berusia 3 milyar tahun. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA
Dalam pengamatannya, Herschel menemukan populasi galaksi yang diliputi debu yang tidak membutuhkan jumlah materi gelap yang banyak seperti yang diduga sebelumnya untuk mengumpulkan gas dan menyebabkan terjadinya ledakan pembentukan bintang,
Penemuan tersebut menjadi salah satu langkah penting untuk bisa memahami bagaimana materi gelap yang merupakan substansi yang tidak tampak, berkontribusi dalam proses kelahiran galaksi masif di awal alam semesta.

Kontribusi Materi Gelap Bagi Pembentukan Galaksi

Menurut Asantha Cooray dari University of California, Irvine, yang juga peneliti utama penelitian ini, “jika diawali dengan sedikit materi gelap, maka galaksi yang berkembang akan berakhir dengan perlahan. Tapi jika materi gelapnya terlalu banyak, gas tidak akan bisa menjadi cukup dingin untuk membentuk sebuah galaksi besar. Pada akhirnya hanya akan terbentuk galaksi kecil dalam jumlah besar. Tapi jika jumlah materi gelapnya tepat, maka galaksi yang terbentuk akan memiliki ledakan jumlah bintang di dalamnya.”
Berapakah jumlah yang tepat itu? Dari hasil yang dilihat Herschel, Asantha Cooray menemukan kalau jumlah yang tepat itu 300 milyar massa Matahari.
Ukuran tersebut jelas menantang teori yang ada saat ini yang memprediksikan bahwa sebuah galaksi haruslah lebih besar 10 kali, dengan massa 5000 miliar massa Matahari untuk bisa membentuk sebuah galaksi dengan jumlah bintang yang banyak.
Sebagian besar massa di galaksi tersebut diperkirakan merupakan materi gelap, substansi yang tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Gravitasi materi gelap inilah yang diperkirakan dapat mengikat si galaksi saat berotasi sehingga bintang-bintang di dalamnya tidak tercerai berai.
Area "lubang Lockman" yang berada di rasi Ursa Mayor. Arrea yag di survei Herschel. Titik-titik kecil di citra tersebut merupakan galaksi jauh. Kredit : konsorsium ESA & SPIRE & konsorsium HerMES
Model pembentukan galaksi yang ada saat ini dimulai dengan akumulasi sejumlah besar materi gelap. Gumpalan raksasa materi gelap ini berfungsi bak sumur yang mengumpulkan gas dan debu yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi. Saat campuran gas dan debu jatuh ke dalam sumur, mereka akan berkondensasi dan memulai proses pendinginan, dan dimulailah ledakan pembentukan bintang. Yang dilihat Herschel, laju pembentukan bintang pada galaksi-galaksi muda yang ia amati pada jarak 10 – 11 milar tahun tersebut mencapai 100 – 1000 kali lebih cepat dari laju pembentukan bintang di Bima Sakti saat ini. Saat bintang yang terbentuk sudah cukup, maka sebuah galaksi baru pun lahir.
Mata Infra Merah Herschel
Hasil Herschel tersebut menunjukan pentingnya astronomi infra merah yang membawa para ilmuwan untuk melihat apa yang ada di balik cadar debu antar bintang dan melihat bintang-bintang kala bayi.
Bagaimana Herschel bisa melihat semua itu? Ini tak lepas dari kemampuan instrumen SPIRE (Spectral and Photometric Imaging Receiver) milik Herschel yang bekerja pada panjang gelombang 250, 350 dan 500 mikron. Panjang gelombang tersebut 1000 kali lebih panjang dari area panjang gelombang yang bisa dilihat oleh mata manusia. Kemampuan ini jugalah yang menyebabkan mata Herschel mampu mengungkap keberadaan galaksi yang diliputi oleh debu.
Menurut Göran Pilbratt, peneliti dalam proyek Herschel, “kemampuan Herschel yang memiliki sensitivitas tinggi pada cahaya infra merah jauh yang dipancarkan oleh galaksi muda yang penuh dengan ledakan bintang telah membawa para astronom untuk melihat ke kedalaman alam semesta dan memberi pemahaman yang lebih baik lagi mengenai pembentukan dan evolusi galaksi.”

Distribusi materi gelap. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA

Citra Yang Diambil Herschel
Dalam melakukan pengamatannya, Herschel tidak hanya melihat namun ia juga memotret semua yang dilihatnya. Dari citra yang dihasilkan Herschel terdapat banyak galaksi yang tumpang tindih dan menciptakan kabut radiasi inframerah yang dikenal sebagai latar belakang kosmik infra merah. Galaksi-galaksi tersebut tidak terdistribusi secara acak melainkan mengikuti pola yang mendasari materi gelap di alam semesta. Akibatnya, kabut tersebut memiliki pola khas yang berupa potongan terang dan gelap.
Analisa kecerlangan dari potongan yang ada dalam citra SPIRE menunjukkan laju pembentukan bintang di galaksi jauh infra merah lebih tinggi 3 – 5 kali dibanding pengamatan serupa pada galaksi yang masih sangat muda pada panjang gelombang tampak oleh teleskop Hubble dan teleskop lainnya.
Analisis lebih lanjut dan simulasi yang dibuat menunjukkan kalau massa yang lebih kecil untuk galaksi-galaksi tersebut merupakan jumlah yang pas untuk pembentukan bintang. Galaksi yang kurang masif akan sulit terbentuk lebih dari generasi pertama bintang sebelum ia mengalami kegagalan pembentukan. Sedangkan galaksi yang lebih masif harus berjuang keras karena proses pendinginan gas jadi lebih lambat dan menghalangi si galaksi untuk mengalami keruntuhan untuk memiliki kerapatan yang lebih tinggi yang dibutuhkan untuk memicu terjadinya pembentukan bintang.
Tapi jumlah yang dilihat Herschel yakni beberapa ratus milyar massa matahari sudah cukup untuk membuat galaksi memiliki laju pembentukan bintang yang besar dan akan dapat bertumbuh dengan cepat.

Hubble Meniadakan Teori Alternatif Energi Gelap

Tampaknya energi gelap masih menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi laju ekspansi alam semesta.  Hal ini didapat setelah para astronom melakukan perhitungan kembali laju ekspansi alam semesta dengan menggunakan teleskop Hubble. Perhitungan ini dilakukan agar mendapatkan tingkat keakurasian yang lebih baik.  Tak hanya itu, para astronom berhasil mengesampingkan teori alternatif tentang asal mula energi gelap yang ada saat ini.

NGC 5584. Kredit : NASA, ESA, and Z. Levay (STScI), NASA, ESA, A. Riess (STScI/JHU), & L. Macri (Texas A&M University)
Alam semesta berekspansi atau mengembang dalam laju yang dipercepat. Laju yang dipercepat tersebut bisa terjadi karena alam semesta diisi oleh energi gelap. Akibatnya meski jumlah total materi (baryon dan materi gelap) tidak memungkinkan untuk membuat alam semesta berekspansi dengan cepat, keberadaan energi gelap memungkinkan hal tersebut terjadi. Energi gelap ini bekerja dengan cara berlawanan dari gravitasi.  Seperti halnya konsep energi gelap yang misterius, asal usul dan pemodelan yang dibuat oleh para astronom juga menarik untuk dibahas.
Salah Satu Teori Asal Mula Energi Gelap
Salah satu teori alternatif tentang keberadaan energi gelap adalah keberadaan gelembung besar yang mengisi ruang kosong sebesar 8 milyar tahun cahaya dan mengelilingi lingkungan galaksi. Nah jika kita tinggal di dekat pusat ruang hampa tersebut, pengamatan yang memperlihatkan galaksi bergerak saling menjauh dengan laju dipercepat hanya akan menjadi ilusi.
Bentuk sederhana hipotesa tersebut saat ini sudah tidak lagi dipakai karena para astronom memberikan batasan yang lebih ketat pada laju ekspansi alam semesta.  Dalam penelitian yang meggunakan teleskop Hubble dan diarahkan oleh tim SHOES (Supernova H0 for the Equation of State) di bawah pimpinan Adam Riess dari Space Telescope Science Institute (STScI) dan Johns Hopkins University di Baltimore,  tim ini bekerja untuk lebih memperhalus keakuratan konstanta Hubble. Hal ini dimaksutkan untuk mendapatkan tingkat presisi yang lebih baik untuk karakterisasi perilaku energi gelap.  Hasil pengamatan tersebut dipergunakan untuk menentukan angka laju ekspansi alam semesta saat ini agar mencapai ketidakpastian hanya 3,3 %.
Pengukuran yang baru tersebut mereduksi margin kesalahan sekitar 30% dibanding pengukuran Hubble sebelumnya di tahun 2009.
Harga laju ekspansi adalah 73,8 km/detik/megaparsek. Artinya, untuk setiap tambahan satu juta parsek (3,26 juta tahun cahaya) galaksi dari Bumi, maka galaksi akan tampak bergerak menjauh dengan laju 73,8 km/detik lebih cepat dari kita. Setiap penurunan ketidakpastian dari laju ekspansi alam semesta akan membantu pemahaman manusia akan bahan-bahan pembentuk alam semesta. dengan mengetahui harga yang lebih presisi akan memberi batas bagi rentang kekuatan energi gelap dan membantu para astronom untuk lebih mempererat / memberi harga yang memiliki margin eror lebih kecil untuk menghitung properti kosmik termasuk di dalamnya bentuk alam semesta, nutrino dan partikel-partikel yang mengisi alam semesta dini.
Adam Riess dkk menggunakan kamera baru di Hubble yang berfungsi seperti radar polisi untuk bisa menangkap percepatan alam semesta.

Meledakkan Si Gelembung

Energi gelap merupakan salah satu misteri terbesar kosmologi dalam fisika modern. Bahkan Einsten memahami keberadaan kekuatan misteri tersebut dan dikenal sebagai konstanta kosmologi.
Konstanta kosmologi adalah faktor yang dimasukkan dalam persamaan Einstein dalam relativitas umum. Konstanta kosmologi ini awalnya dimaksudkan untuk mengimbangi gravitasi supaya diperoleh gambaran alam semesta yang statis.  Ide ini kemudian ia sesali ketika Edwin Hubble menemukan alam semesta yang mengembang sesuatu yang harusnya terlebih dulu bisa diramalkan oleh relativitas umum. Eksistensi konstanta kosmologi ini kembali mencuat akhir-akhir ini, dan mencapai puncak ketika terdeteksi keberadaan energi gelap di kisaran tahun 1998.
Ide keberadaan energi gelap tersebut tidak wajar, dan banyak juga ilmuwan yang mulai mencari intrpretasi lain yang “aneh” termasuk di dalamnya teori gelembung kosmik. Dalam teori tersebut, gelembung dengan kerapatan rendah akan mengembang lebih cepat dibanding alam semesta yang lebih masif disekitarnya. Bagi pengamat di dalam gelembung, energi gelap akan tampak mendorong seluruh alam semesta untuk saling terlepas. Dengan hipotesa gelembung, dibutuhkan laju ekspansi alam semesta lebih lambat dari yang sudah dihitung para astronom, sekitar 60 – 65 km / det / megaparsek.
Dengan mereduksi ketidakpastian Konstanta Hubble menjadi 3%, Adam Riess bisa mengeliminasi kemungkinan harga Konstanta Hubble yang sedemikian rendah, yang artinya teori gelembung tersebut bisa dieliminasi.
Bagian tersulit dari teori gelembung adalah karena salah satu syaratnya mengharuskan kita hidup di dekat ruang kosong yang luar biasa besar. Kemungkinan itu terjadi hanya 1 dari 1000000 kesempatan. Dan karena hasil pegamatan memperlihatkan bahwa alam semesta mengalami percepatan, jauh lebih baik jika pemandu bagi para astronom adalah data yang diperoleh.

Bintang Sebagai Pengukur Kosmik

Perhitungan laju ekspansi alam semesta bukanlah yang mudah.  Pada awalnya Riess dan tim  menentukan keakuratan jarak galaksi jauh dan dekat dari Bumi. Setelah itu dilakukan perbandingan jarak tersebut dengan laju galaksi saat menjauh karena ekspansi alam semesta.  Menurut Riess, “energi gelap seperti menjadi pedal yang memicu percepatan laju ekspansi”. Kedua harga yang didapat kemudian digunakan untuk menentukan konstanta Hubble, angka yang memiliki korelasi dengan laju menjauhnya galaksi dari Bima Sakti.
Ini semua terkait dengan ruang kerja astronom yang tidak bisa menyentuh sendiri obyek yang ia teliti. Tak mungkin bukan para astronom mengukur sendiri jarak galaksi-galaksi tersebut? Karena itu dibutuhkan bintang atau obyek lainnya yang bertugas sebagai pengukur kosmik. Obyek-obyek tersebut haruslah memiliki kecerlangan intrinsik yang sudah diketahui. Jaraknya dapat diketahui dengan membandingkan kecerlangan sebenarnya si obyek dengan kecerlangan semu yang tampak dari Bumi.
Dari semua obyek yang ada, yang dapat digunakan sebagai pengukur kosmik dan memiliki jarak yang relatif lebih dekat maka pilihannya jatuh pada bintang variabel Cepheid. bintang berdenyut yang kecerlangannya berubah secara berkala. Magnitudo mutlaknya dapat diketahui dari periode perubahan cahayanya. Masalahnya, Cepheid terlalu redup untuk ditemukan di galaksi yang sangat jauh. Untuk itu, butuh pengukur lain untuk jarak yang jauh.
Untuk jarak yang jauh, digunakan Supernova tipe 1a, yang merupakan ledakan bintang. Ledakan bintang pada tipe ini bersinar dengan luminositas yang hampir sama dan sangat cerlang untuk bisa dilihat dari jarak yang jauh di alam semesta.
Untuk memperkecil ketidakpastian Konstanta Hubble, Riess mencari galaksi dekat yang memiliki bintang Cepheid dan Supernova Tipe 1a, sesuatu yang sulit untuk didapat. Setelah itu, ia melakukan perbandingan kecerlangan semua kedua tipe bintang dan kemudian dilakukan penentuan kecerlangan intrinsik keduanya sehingga jarak ke supernova Tipe 1a di galaksi yang luas dan jauh bisa diketahui.
Para astronom ini menggunakan ketajaman Wide Field Camera 3 (WFC3) untuk mempelajari lebih banyak bintang yang berada pada panjang gelombag tampak maupun yang ada di dekat-inframerah. Setelah itu para ilmuwan melakukan eliminasi sistematik terhadap kesalahan yang didapat dengan membandingkan pengukuran mereka dengan pengukuran dari teleskop-teleskop yang berbeda.  WFC3 ini memberikan tingkat presisi yang lebih baik.
Para astronom berharap Hubble akan terus digunakan untuk bisa mereduksi ketidakpatian konstanta Hubble sehingga bisa memperhitungkan properti energi gelap.

Mengejar Alam Semesta Yang Menjauh

Adam Riess  sudah 13 tahun mengejar energi gelap. Ia adalah salah satu penemu keberadaan energi gelap saat menemukan supernova Tipe 1a lebih redup dari yang diharapkan, yang artinya supernova tersebut berada lebih jauh dari yang diduga. Satu-satunya yang mungkin terjadi adalah ekspansi alam semesta mengalami percepatan dari waktu ke waktu.
Sampai dengan penemuan tersebut, para astronom secara umum meyakini bahwa laju ekspansi kosmik mengalami perlambatan secara berkala sebagai akibat tarikan gravitasi galaksi antara satu dengan lainnya. Hasilnya menunjukkan ada kekuatan misteri yang bekerja berlawanan dengan gravitasi dan mendorong galaksi itu menjauh satu sama lainnya dengan laju yang semakin bertambah.
Nah untuk mengetahui batasan energi gelap diperlukan harga yang akurat dari konstanta Hubble.

Galaksi Jauh dari Alam Semesta Dini

Perjalanan manusia untuk mencari galaksi-galaksi tua untuk mnelusuri kembali pembentukkannya masih terus berlanjut. Setelah masyarakat dikejutkan dengan penemuan galaksi yang berada pada jarak 13,2 milyar tahun dengan pergeseran merah 10,3.
Para peneliti tak berhenti sampai disitu, pencarian masih terus berlanjut untuk mengungkap sejarah alam semesta. Dengan menggunakan kemampuan untuk memperbesar dari lensa kosmik gravitasi, para astronom berhasil menemukan sebuah galaksi jauh yang diperkirakan lahir pada masa awal sejarah kosmik. Hasil ini memberi cahaya baru bagi pembentukan galaksi pertama sekaligus juga membawa manusia untuk mengkaji kembali evolusi dini alam semesta.
Penemuan Galaksi Baru
Galaksi jauh yang ditemukan di masa awal alam semesta. kredit : NASA, ESA
Dalam penelitian yang dilakukan Johan Richard (CRAL, Observatoire de Lyon, Université Lyon 1, France and Dark Cosmology Centre, Niels Bohr Institute, University of Copenhagen, Denmark) dan timnya, mereka berhasil menemukan galaksi jauh yang mulai terbentuk sekitar 200 juta tahun setelah terjadinya Big Bang atau Dentuman Besar.
Penemuan ini menjadi tantangan baru bagi teori yang ada terutama mengenai kapan galaksi terbentuk dan berevolusi di tahun-tahun awal pembentukan alam semesta. Bukti baru yang ada juga bisa digunakan untuk mengungkap misteri bagaimana kabut hidrogen yang mengisi alam semesta dini bisa dibersihkan.
Tim yang dipimpin Richard melihat galaksi yang mereka temukan saat melakukan pengamatan dengan menggunakan NASA/ESA Hubble Space Telescope dan kemudian dikonfirmasi ulang menggunakan Spitzer Space Telescope. Pengukuran jarak kemudian dilakukan menggunakan W. M Keck Observatory di Hawaii.
Pengamatan Galaksi ….
Galaksi jauh yang ditemukan tersebut tampak melalui gugus galaksi Abell 383, yang kekuatan gravitasinya mampu membelokkan cahaya dan berfungsi sebagai kaca pembesar. Kesempatan terjadinya kesejajaran antara galaksi, gugus galaksi dan Bumi memperkuat cahaya yang diterima dari galaksi jauh sehingga para astronom dapat melakukan pengamatan yang lebih detil. Tanpa lensa gravitasi, galaksi yang dituju terlalu redup untuk bisa diamati meskipun dengan teleskop tercanggih yang ada saat ini.
Setelah berhasil mengenali galaksi yang dicari dalam citra yang dihasilkan Hubble dan Spitzer, dilakukan pengamatan spektroskopik dengan teleskop Keck-II di Hawaii. Spektroskopi merupakan teknik untuk memecah cahaya ke dalam komponen warnanya. Setelah itu dilakukan analisa spektrum sehingga bisa dilakukan pengukuran pergeseran merah dan mendapatkan informasi terkait komponen bintangnya.
Implikasi Penemuan Galaksi
Hasil pengukuran yang dilakukan Johan Richard dan tim menunjukkan kalau galaksi tersebut memiliki pergeseran merah 6.027 yang artinya, pengamat melihat galaksi tersebut saat ia ada pada kondisi alam semesta berusia 950 juta tahun.  Hasil ini tidak lantas menjadikan galaksi baru tersebut sebagai galaksi paling jauh atau paling tua karena ada galaksi lainnya yang memiliki pergeseran merah lebih dari 8 dan ada yang pergeseran merahnya 10 atau sudah ada 400 juta tahun sebelum si galaksi yang ditemukan Richard dkk.
Tapi setiap penemuan tentu punya keunikan tersendiri. Galaksi baru ini ternyata memiliki fitur yang sangat berbeda dibanding galaksi jauh lainnya yang pernah diamati, yang umumnya terang dan terdiri dari bintang-bintang muda.
Menurut Eiichi Egami, salah satu peneliti Galaksi baru tersebut, ada dua hal yang mereka lihat saat melakukan analisa spektrum. Pergeseran merah dari galaksi tersebut menunjukkan kalau ia berasal dari masa awal sejarah kosmik. Tapi ada hal menarik lainnya. Deteksi yang dilakukan oleh Spitzer dengan mata inframerahnya mengindikasikan galaksi tersebut sudah berusia lebih tua lagi dan ia diisi oleh bintang redup.  Diperkirakan galaksi tersebut disusun oleh bintang-bintang yang usianya sudah mendekati 750 juta tahun.
Artinya, epoh pembentukannya pun mundur ke era sekitar 200 juta tahun setelah Dentuman Besar. Atau dengan kata lain, galaksi ini sudah berusia sangat tua dan bisa disimpulkan juga kalau galaksi pertama yang terbentuk di masa awal alam semesta ternyata memang lebih dini dibanding perkiraan para ilmuwan.
Penemuan galaksi ini jelas memberi implikasi pada teori pembentukan galaksi mula-mula sekaligus memberi informasi bagaimana alam semesta menjadi transparan bagi cahaya ultraungu di masa satu milyar tahun pertama setelah Dentuman Besar.
Di masa awal kosmos, terdapat kabut gas hidrogen netral yang menghalangi cahaya ultraungu di alam semesta. Untuk bisa membuat alam semesta jadi transparan dan bersih dari kabut tersebut, sebagian sumber radiasi harus mngionisasi gas yang tersebar tersebut, membersihkan kabut yang menghalangi dan menjadikan alam semesta transparan bagi sinar ultraungu. Proses inilah yang dikenal sebagai proses reionisasi.
Para astronom meyakini kalau radiasi yang memberi tenaga untuk terjadinya reionisasi tersebut haruslah datang dari galaksi-galaksi. Akan tetapi diyakini tidak ada satu pun galaksi yang ditemukan yang dapat memberi radiasi yang diperlukan. Nah, penemuan galaksi baru ini diyakini dapat menyelesaikan teka-teki tersebut.
Tampaknya, galaksi yang baru ditemukan ini bukanlah satu-satunya. Diyakini masih ada lebih banyak galaksi-galaksi lain di masa alam semesta dini melebihi dugaan sebelumnya. Dan diyakini juga galaksi-galaksi tersebut sudah tua dan redup, sperti yang baru saja ditemukan. Jika analisa mengenai keberadaan galaksi-galaksi tua dan redup di alam semesta dini memang benar adanya maka mereka inilah yang akan menjadi jawaban yang menyediakan radiasi yang dibutuhkan untuk membuat alam semesta menjadi transparan bagi sinar ultraungu.
Untuk saat ini, para peneliti hanya dapat menemukan galaksi – galaksi melalui pengamatan menggunakan gugus masif yang bertindak sebagai teleskop kosmik. Di masa yang akan datang James Webb Space Telescope milik NASA/ESA/CSA akan diluncurkan dan akan bekerja pada pengamatan resolusi tinggi untuk mencari obyek yang memiliki pergeseran merah tinggi. Pada masa inilah, JWST akan menjadi mata yang bisa mengungkap semua misteri di masa alam semesta dini.

Galaksi Besar Berhenti Bertumbuh 7 Milyar Tahun Lalu

Pembentukan dan pertumbuhan galaksi diperkirakan terjadi sebagai akibat gaya gravitasi antara sub galaksi atau gabungan sub galaksi yang prosesnya terjadi terus-menerus.
Yang menarik, data terbaru dari tim peneliti John Moores University, Liverpool justru menantang konsep yang sudah lama ada tersebut. Kok bisa? Data terbaru menunjukkan kalau pertumbuhan sebagian obyek masif tersebut berhenti 7 milyar tahun lalu saat alam semesta baru mencapai setengah dari usianya saat ini.
Konsep Pembentukan Galaksi
Gugus Galaksi Terang (BCG) tampak sebagai busur oranye dalam citra yang diambil Teleskop Hubble dari gugus galaksi Abell 2218. Kredit: NASA, ESA, and Johan Richard (Caltech, USA)
Bagaimana galaksi terbentuk dan kemudian mengalami evolusi masih merupakan pertanyaan yang sebagian besar belum terjawab. Selama ini diyakini ada kelompok sub-galaksi yang bergabung membentuk galaksi, dan terkait dengan fluktuasi dalam kerapatan materi di kosmos yang tersisa setelah Dentuman Besar yang saat ini terlihat sebagai riak temperatur pada radiasi kosmik latar belakang (cosmic microwave background / cmb)
Untuk mempelajari evolusi galaksi, Claire Burke dan tim juga melibatkan Professor Chris Collins dan Dr John Stott (University of Durham) melihat dan menelaah galaksi paling masif di alam semesta yang dikenal sebagai Brightest Cluster Galaxies (BCGs) atau Gugus Galaksi Paling Terang. Dinamai demikian karena lokasinya berada pada pusat gugus galaksi, stuktur yang terdiri dari ratusan galaksi.
Dalam lingkungan alam semesta, BCGs berbentuk ellips, berukuran paling besar, seragam, dan paling masif dari galaksi – galaksi yang di amati. Setiap galaksi yang tergolong BCGs memiliki massa sebanding dengan 100 trilyun Matahari. Seperti galaksi ellips kecil, BCGs tersusun oleh bintang merah yang tua dan diperkirakan terbentuk melalui penggabungan populasi sub galaksi berkerapatan tinggi yang ditemukan di pusat gugus galaksi. Dengan mempelajari ukuran pertumbuhan BCGs maka diharapkan para ilmuwan bisa mendapatkan informasi terkait pembentukan dan evolusi galaksi secara umum.
Untuk bisa mengukur ukuran BCGs tidaklah mudah karena area terluarnya sangat redup. Untuk itu Burke dan timnya mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan citra eksposur panjang dari arsip Teleskop Hubble, yang secara khusus memotret bagian redup dari galaksi-galaksi tersebut.  BCGs yang dipelajari ini berada sangat jauh dan cahaya yang dideteksi pada galaksi-galaksi tersebut berasal dari cahaya 7 milyar tahun lalu. Artinya galaksi-galaksi tersebut tampak bagi pengamat sesuai dengan kondisinya saat ia berada di usia setengah usia alam semesta kini.
Setelah mempelajari dan menganalisa citra Hubble, ditemukan kalau BCGs jauh tersebut memiliki ukuran yang hampir sama dengan rekan mereka yang berada lebih dekat. Selain itu galaksi-galaksi ini harusnya bisa bertumbuh setidaknya 30% dalam 9 milyar tahun. Hasil simulasi untuk evolusi alam semeta justru memprediksi kalau BCGs seharusnya memiliki ukuran 3 kali lipat setelah waktu tersebut.
Lambatnya pertumbuhan sebagian besar galaksi masif jelas menjadi tantangan tersendiri bagi model pembentukan dan evolusi alam semesta struktur skala besar. Tampaknya para kosmolog membutuhkan beberapa bahan penting lainnya untuk bisa memahami evolusi galaksi dari masa lalu sampai masa kini.


Ledakan Kosmik, Kandidat Obyek Terjauh di Alam Semesta

Bulan April 2009, kala itu satelit Swift milik NASA berhasil mendeteksi semburan sinar gamma atau gamma ray burst aka GRB yang kemudian menarik perhatian para astronom. Apa istimewanya?
Ilustrasi semburan sinar gamma. Kredit : NASA /Swift /Cruz deWilde
GRB 090429B ini merupakan satu diantara semburan sinar gamma yang ada di alam semesta. Semburan sinar gamma sendiri merupakan ledakan keras dan bencana besar dari bintang masif. Bayangkan peristiwa ini sebagai supernova yang super, kematian bagi bintang yang memiliki umur pendek dengan kehidupan yang penuh dinamika.
Tapi lagi-lagi pertanyaannya, apa istimewanya GRB 090429B tersebut?
Yang menarik dari semburan sinar gamma yang satu ini adalah kemungkinan dirinya menjadi kandidat obyek terjauh yang ada di alam semesta. Jarak yang diperkirakan adalah 13,14 milyar tahun cahaya. Artinya, semburan sinar gamma ini berada jauh melebihi keberadaan quasar yang sudah dikenal saat ini dan bahkan bisa lebih jauh lagi dari galaksi dan semburan sinar gamma yang sudah ada. Arti lainnya? Para astronom berhasil menemukan galaksi-galaksi yang berada di masa awal alam semesta. Semakin mendekati masa awal keberadaan alam semesta maka semakin banyak pula informasi yang bisa didapat tentang kondisi awal alam semesta serta apa yang terjadi saat itu.

Ledakan dari masa lalu

Ditemukan pada tanggal 29 April 2009, semburan tersebut diberi nama sekaligus mengiindikasikan saat ia ditemukan yakni 090429B dengan B menunjukkan bahwa ia merupakan semburan kedua yang diamati pada hari yang sama.
Semburan sinar gamma merupakan sebuah letupan yang sangat terang yang memancarkan lebih banyak cahaya hanya dalam waktu beberapa detik. Lebih banyak dari cahaya yang dipancarkan Matahari dalam seluruh hidupnya. Semburan yang luar biasa terang tersebut terjadi di suatu lokasi dalam rentang alam semesta yang bisa diamati. Laju terjadinya semburan di alam semesta diketahui sebanyak 2 semburan setiap harinya. Semburan yang sangat terang tersebut bisa dilihat dari jarak yang sangat jauh. Bahkan bisa dideteksi dari jarak milyaran tahun cahaya oleh Swift dan satelit pendeteksi lainnya.
Semburan sinar gamma raksasa ini meletus dari bintang yang meledak saat alam semesta masih berusia kurang dari 4% dari usianya saat ini, atau sekitar 520 juta tahun, dan ukurannya juga masih 10% lebih kecil dari ukurannya saat ini. Dengan demikian, galaksi yang menjadi rumah bagi bintang leluhur GRB 090429B merupakan salah satu dari galaksi-galaksi pertama di alam semesta.
Semburan sinar gamma berlansung sangat cepat dan berakhir hanya dalam 1 menit, dan cahaya yang tertinggal dari hasil semburan baru memudar setelah beberapa hari sampai dengan seminggu sehingga bisa diamati oleh fasilitas astronomi yang ada. Pengamatan cahaya yang tersisa pada rentang waktu tersebut memungkinkan para astronom untuk menentukan jarak semburan.
Pengukuran cahaya yang tersisa inilah yang digunakan untuk mengukur jarak GRB 090429B dan menemukan kalau semburan ini memang datang dari awal alam semesta yakni dari jarak 13,14 milyar tahun cahaya, dan menjadikannya GRB terjauh saat ini.
Hasil pengamatan GRB 090429B menggunakan Gemini Observatory. Kredit : Gemini Observatory/AURA/Andrew Levan (University of Warwick, UK)
Berburu Ledakan Kosmik dari Masa Lalu
Untuk menemukan GRB 090429B, para astronom punya cerita menarik. Kurang dari seminggu setelah GRB 090423 dinyatakan sebagai obyek terjauh di masa itu pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya, GRB 090429B tampak di angkasa dengan properti yang mirip. GRB 090429B merupakan kejadian yang singkat dan berakhir hanya dalam 10 detik. Pada saat itu pengamatan Swift menunjukkan keberadaan sinar X yang redup. Pagi itu pula Antonino Cucchiara, mahasiswa paska sarjana dari Penn State yang saat ini sudah berada di University of California, Berkeley, bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan pengamatan dengan menggunakan teleskop Gemini North di Mauna Kea, Hawaii dengan harapan bisa mengetahui sifat semburan tersebut.
Tapi ternyata hasilnya tidak bisa didapat sesuai harapan. Awan muncul dan menghalangi pandangan teleskop Gemini ke semburan tersebut. Malam berikutnya cahaya yang tersisa dari semburan pun masih terlalu redup untuk didapatkan spektrumnya dan di hari berikutnya cahaya itu pun memudar sehingga tak dapat dilihat. Tanpa pengamatan tersebut, hanya jarak yang bisa diketahui tapi petunjuk yang ada memang mengarahkan bahwa semburan ini merupakan obyek terjauh.
Cahaya Semburan Pada Panjang Gelombang Infra Merah
Dengan filter berbeda, para astronom menemukan bahwa cahaya sisa semburan tersebut tampak pada pengamatan inframerah dan tidak terlihat pada pengamatan cahaya tampak. Hal ini penting karena alam semesta mengembang.
Mengembangnya alam semesta menyebabkan cahaya dari obyek yang datang dari jauh akan bekerja menentang pengembangan alam semesta. Cahaya tidak akan melambat tapi akan mengalami kehilangan energi. Akibatnya terjadi pergeseran warna cahaya ke area yang lebih merah pada spektrum yang diterima. Pada jarak yang sangat jauh, cahaya ultra ungu yang menjelajah dari jauh akan bergeser ke bagian cahaya tampak di spektrum. Yang menarik, dalam perjalanannya ada gas di alam semesta yang menyerap cahaya ultraungu dan membiarkan cahaya tampak untuk terus melaju.
Citra GRB 090429B yang dihasilkan Gemini Near-Infrared Imager (NIRI) menggunakan filter J,H, dan K (label) dan filter Z (kiri) yang diperoleh dari Gemini Multi-Object Spectrograph. Seluruh cira dihasilkan menggunakan teleskop. Gemini North di Mauna Kea, Hawai‘i. Kredit :Gemini Observatory/AURA/Penn State/UC Berkeley/University of Warwick, UK
Sekarang bayangkan, GRB yang berada demikian jauh. Jika cahaya ultra ungu bergeser ke cahaya tampak, maka tentunya cahaya tampak dari GRB akan bergeser ke arah merah yakni ke panjang gelombang infra merah. Di Bumi, yang dilihat pengamat adalah cahaya inframerah dari GRB yang sebenarnya waktu memulai perjalanan merupakan cahaya tampak. Dan pengamat tidak melihat keberadaan semburan tersebut di cahaya tampak yang saat baru memulai perjalanan melintasi alam semesta merupakan sinar ultra ungu. Inilah yang dilihat pada GRB 090429B. Cahaya Infra merah dan tidak ada tanda-tanda di cahaya tampak.
Perilaku terjadinya pergeseran inilah yang menjadi indikasi keberadaan obyek jauh dan digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan quasar, galaksi dan semburan gamma yang berada pada jarak yang jauh. Inilah bukti pertama yang menunjukkan bahwa cahaya semburan itu datang dari lokasi yang sangat jauh.
Dengan menganalisa cahaya yang diblok atau dihalangi terhadap cahaya yang bisa terus melaju bisa digunakan untuk menghitung pergeseran merah yang terjadi dan dengan demikian menentukan jarak semburan.

Galaksi Induk Tidak Tampak

Teleskop Hubble diarahkan untuk mengamati lokasi semburan GRB 090429B dan tidak melihat galaksi asal semburan. Kredit : Levan / Tanvir / Cucchiara for NASA/Hubble
Meski tidak berhasil lagi mengamati cahaya yang tersisa dari semburan, tim astronom yang terdiri dari Antonino Cucchiara, Andrew Levan dari University of Warwick, Nial Tanvir dari University of Leicester, dan pemimbing thesis Derek Fox dari Penn State terus melakukan pengamatan lanjutan selama 2 tahun berikutnya. Mereka tidak mau membiarkan GRB 090429B menjadi semburan yang berlalu begitu saja. Penelitian lanjutan dilakukan untuk mencari tahu apakah GRB 090429B datang dari jarak yang luar biasa jauh dengan mengumpulkan data baru dan pengamatan yang lebih lanjut menggunakan Gemini dan Teleskop Hubble untuk mengungkap keberadaan galaksi tempat semburan terjadi.
Seandainya jarak semburan ini “dekat” tentu galaksi yang menjadi induk atau rumah bagi semburan sinar gamma tersebut akan tampak. Pada kenyataannya galaksi induk tersebut tidak tampak bahkan bagi Hubble. Semburan sinar gamma datang dari bintang yang duluya lahir, hidup dan kemudian mati dalam ledakan yang hebat hanya dalam hitungan waktu jutaan tahun. Bintang seperti ini terbentuk dalam awan gas raksasa di dalam galaksi dan akan dapat diamati dari jarak tertentu (cukup jauh) dengan menggunakan teleskop berkemampuan tinggi.
Setelah semburan ini meredup, teleskop Hubble yang diarahkan ke lokasi semburan tidak melihat apapun. Artinya, galaksi ini berada sangat jauh, dan bahkan cahayanya pun pudar dan tidak tampak lagi.

Pemegang Rekor Obyek Terjauh

Tidak terdeteksinya GRB 090429B pada cahaya tampak dan tidak tampaknya galaksi lokasi si semburan terjadi mengindikasikan kalau semburan tersebut berasal dari jarak yang sangat jauh.
Dengan kesempatan 99,3% menjadi obyek terjauh di alam semesta saat ini pada jarak 13,14 milyar tahun cahaya melebihi GRB 09042 pada jarak 13,04 milyar tahun cahaya dan galaksi yang ditemukan tahun 2010-2011 pada jarak 13,07 milyar tahun cahaya.
Di balik keberadaannya yang jauh dan menjadi pemegang rekor terjauh di alam semesta saat ini, GRB 090429B memberi gambaran bagaimana ledakan sinar gamma dapat digunakan untuk mengungkap lokasi bintang-bintang masif di masa awal alam semesta dan melacak kembali proses awal pembentukan bintang dan galaksi yang kemudian berevolusi menjadi kosmos yang kaya galaksi yang kita kenal saat ini .

Tabrakan Yang Menghasilkan Gugus Pandora

Gugus Pandora, itulah nama yang diberikan para ilmuwan bagi gugus galaksi Abell 2744 yang tengah diteliti para ilmuwan saat ini. Mereka menyusun kepingan – kepingan gugus yang kompleks sekaligus juga menyusun kembali sejarahnya yang penuh kekerasan dengan menggunakan teleskop landas bumi (VLT) dan landas angkasa (Teleskop Hubble).
Tabrakan Yang Menghasilkan Gugus Raksasa
Gugus Abell 2744 yang dijuluki Gugus Pandora, merupakan gugus galaksi yang terbentuk dari tabrakan 4 gugus galaksi. Kredit :ESO
Gugus galaksi Abell 2744 bukan sekedar sebuah gugus galaksi yang berisikan galaksi-galaksi. Ia merupakan hasil gabungan setidaknya 4 gugus galaksi yang berbeda dan tabrakan yang kompleks tersebut menghasilkan efek aneh yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Saat gugus galaksi raksasa mengalami tabrakan secara bersama-sama maka kekacauan yang dihasilkan merupakan harta temuan berupa informasi bagi para astronom.  Dengan meneliti salah satu tabrakan gugus yang kompleks seperti ini, para peneliti berharap untuk menyatukan bagian-bagian sejarah tabrakan kosmik yang berlangsung selama 350 juta tahun.
Menurut Julian Merten salah satu peneliti Gugus Abell 2744, mereka bertindak seperti halnya polisi yang menyelidiki penyebab kecelakaan dari potongan-potongan informasi. Maka dalam kasus Abell 2744, para peneliti menggunakan pengamatan dari penggabungan tersebut untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi dalam selang waktu ratusan juta tahun. Dari sini bisa diketahui bagaimana struktur bisa terbentuk di alam semesta dan bagaimana materi dengan tipe berbeda bisa berinteraksi satu sama lainnya saat saling bertabrakan.
Tabrakan yang terjadi melepaskan fenomena berbeda sekaligus aneh yang belum pernah dilihat para peneliti sebelumnya seperti halnya kotak pandora yang penuh misteri. Karena itulah gugus ini kemudian diberi julukan Gugus Pandora.
Mempelajari Gugus Pandora
Perkembangan teknologi memampukan para astronom untuk mempelajari Abell 2744 dengan lebih detil. Caranya, mereka menggabungkan data yang dihasilkan oleh Very Large Telescope (VLT) milik ESO, teleskop Subaru milik Jepang,  Teleskop Ruang Angkasa Hubble milik NASA/ESA dan Chandra X-Ray Observatory milik NASA.
Citra yang dihasilkan VLT dan Hubble memperlihatkan dengan jelas keberadaan galaksi-galaksi dalam gugus. Meskipun galaksi-galaksi cukup terang dan tampak banyak pada citra namun sesungguhnya mereka hanya membentuk kurang dari 5% massa di gugus tersebut.  Selain galaksi, yang banyak terdapat pada gugus tersebut adalah gas (20%) yang sangat panas dan hanya bercahaya  pada sinar X dan materi gelap (sekitar 75%), yang tidak tampak. Untuk bisa mempelajari apa yang terjadi dalam tabrakan tersebut, para astronom harus melakukan pemetaan dari ketiga tipe materi di Abell 2744.
Dari ketiga tipe materi tersebut, materi gelap-lah yang secara umum sukar untuk dipahami karena ia tidak memancarkan, menyerap ataupun memantulkan cahaya, dan hanya menunjukkan keberadaannya dari interaksi gravitasi.
Untuk menunjukkan dengan tepat lokasi substansi misterius ini, para astronom kemudian menggunakan lensa gravitasi, yaitu pembelokan cahaya dari galaksi jauh saat melintasi medan gravitasi yang ada di dalam gugus. Hasilnya adalah serangkaian tanda distorsi pada citra galaksi di latar belakng citra yang di ambil VLT dan Hubble. Dengan melakukan plot tanda distorsiy yang terjadi pada citra, maka pemetaan untuk mengetahui keberadaan massa yang tersembunyi dapat dilakukan – dengan dmeikian bisa diketahui dimana materi gelap berada -
Sebagai perbandingan, untuk bisa menemukan keberadaan gas di dalam gugus jauh lebih mudah karena Chandra X-ray Observatory milik NASA bisa melakukan pengamatan secara langsung pada gas tersebut. Pengamatan keberadaan gas di gugus pandora ini sangat krusial bukan sekedar untuk tahu dimana gas berada tapi juga untuk menunjukkan sudut dan kecepatan dari setiap komponen yang berbeda di gugus datang bersama-sama.
Ketika Gugus Pandora disingkap..
Ketika para astronom menganalisa hasil yang mereka temukan, ada banyak fitur aneh. Tampaknya Abell 2744 terbentuk dari empat gugus yang berbeda dan melibatkan serangkaian tabrakan selama 350 juta tahun. Distribusi yang tidak merata dan rumit dari materi dengan tipe yang berbeda sangat tidak biasa ditemukan dan menjadi hal menarik untuk diselidiki lebih lanjut.
Tabrakan yang kompleks tersebut tampaknya berhasil memisahkan sebagian gas panas dan materi gelap sehingga mereka saat ini berada terpisah satu sama lainnya dan terpisah juga dari galaksi yang tampak. Gugus Pandora menggabungkan fenomena yang sebenarnya selama ini hanya tampak di sistem lain secara terpisah.
Di dekat inti gugus Pandora terdapat semacam “peluru” dimana gas salah satu gugus bertabrakan dengan gugus lainnya dan menimbulkan terjadinya gelombang kejut. Materi gelap berhasil melewati tabrakan tersebut tanpa mengalami efek apapun.  Pada bagian lain gugus, tampak ada galaksi dan materi gelap tapi tidak ada gas panas. Pada bagian tersebut, tampaknya gas telah ditiadakan selama terjadinya tabrakan dan hanya menyisakan jejak samar.
Yang lebih menarik lagi adalah fitur yang berada di bagian terluar gugus. Ada satu area yang mengandung banyak materi gelap namun tidak ada galaksi terang ataupun gas panas. Secara terpisah, sekumpulan gas terlontar dan medahului bukannya mengikuti materi gelap yang terasosiasi dengannya. Susunan yang membingungkan ini memberi informasi pada astronom tentang bagaimana perilaku materi gelap dan bagaimana berbagai materi di alam semesta berinteraksi satu sama lainnya.
Gugus galaksi merupakan struktur terbesar di kosmos yang terdiri dari trilyunan bintang. Di sini bagaimana bintang-bintang terbentuk dan membentuk kembali melalui tabrakan yang berulang-ulang memberi implikasi yang besar bagi pemahaman manusia akan Alam Semesta.

Apa Yang Membangunkan Lubang Hitam Super Masif ?

Cerita yang datang dari mata-mata di Bumi dan angkasa acap kali memberi kejutan dan pengetahuan baru bagi manusia.  Apa yang sudah diyakini ternyata bisa berbeda dari hasil pengamatan, dan itulah sains. Terus berkembang dan terus membaharui diri.

Galaksi-galaksi yang dilihat dalam cacah langit COSMOS. kredit : CFHT/IAP/Terapix/CNRS/ESO
Kali ini hasil menakjubkan yang membuka mata manusia datang dari Very Large Telescope milik ESO dan XMM-Newton X-ray Space Observatory milik ESA. Selama ini, para astronom menduga kalau lubang hitam super masif yang mengintip dari galaksi-galaksi besar selama 11 milyar tahun tersebut bisa hidup dan aktif akibat terjadinya merger atau penyatuan dengan galaksi lain. Tapi tampaknya perkiraan itu tidaklah sepenuhnya tepat.
Di jantung galaksi-galaksi besar, mengintip lubang hitam super masif yang memiliki massa jutaan sampai milyaran massa Matahari. Lubang hitam di pusat galaksi ini seagian besar merupakan lubang hitam yang tenang. Tapi berkembangnya ilmu pengetahuan yang membawa manusia mengenali cerita alam semesta di masa lalu menunjukkan hal berbeda. Setelah menelusuri ke masa lalu, para astronom menemukan galaksi terang di masa awal alam semesta memiliki monster di pusatnya yang melahap materi dengan radiasi kuat ketika materi tersebut tertarik ke lubang hitam.
Pertanyaannya, materi apakah dan dari mana asal materi yang membangunkan lubang hitam yang sedang tidur tersebut dan memicu terjadinya letusan dahsyat di pusat galaksi?
Inti Galaksi Aktif itu Bukan dari Tabrakan…
Sampai saat ini, para astronom selalu menduga kalau sebagian besar inti aktif diaktifkan ketika dua buah galaksi bergabung atau ketika dua galaksi bergerak saling mendekati sehingga menyebabkan materi yang terganggu kemudian menjadi bahan bakar bagi lubang hitam di pusat. Hasil yang didapat ke dua mata astronom di Bumi dan Ruang Angkasa ternyata menunjukkan kalau dugaan para astronom bisa saja salah untuk sebagian galaksi yang aktif.
Adalah Viola Allevato (Max-Planck-Institut für Plasmaphysik; Excellence Cluster Universe, Garching, Jerman) dan tim peneliti internasional dari COSMOS yang membawa para astronom pada paradigma yang baru tersebut. Viola dan rekan-rekannya meneliti lebih dari 600 galaksi aktif dalam proyek kolaborasi COSMOS.
Hasilnya, seperti yang sudah diduga inti aktif yang sangat aktif memang langka sementara sebagian besar galaksi aktif dalam kurun waktu 11 milyar tahun ternyata memiliki kecerlangan moderat. Yang mengejutkan, data baru menunjukkan kalau jumlah mayoritas ini berlaku umum. Galaksi aktif yang tidak terlalu terang ini ternyata tidak dipicu oleh penggabungan galaksi-galaksi.
Keberadaan inti galaksi aktif ini diungkap oleh pancaran sinar-X di sekeliling lubang hitam yang kemudian dilihat oleh teleskop landas angkasa XMM-Newton milik ESA. Galaksi ini kemudian diamati oleh Very Large Telescope milik ESO yang dapat mengukur jarak galaksi-galaksi tersebut. Hasil pengamatan memungkinkan para ilmuwan untuk membuat peta 3 dimensi keberadaan galaksi-galaksi aktif tersebut.
Butuh waktu lebih dari 5 tahun untuk menyelesaikannya namun hasilnya adalah sebuah peta yang menunjukkan keberadaan galaksi-galaksi aktif dalam sinar-X. Peta tersebut akan sangat berguna bagi para astronom untuk melihat distribusi galaksi aktif dan membandingkannya dengan dugaan yang berasal dari teori.
Peta tersebut menunjukkan perubahan dalam sebaran galaksi dengan bertambahnya usia, dari 11 milyar tahun yang lalu sampai dengan hari ini. Inti aktif banyak ditemukan dalam galaksi masif yang memiliki jumlah materi gelap yang besar. Hasil ini tentu saja jadi kejutan karena tidak sesuai dengan teori yang ada. Jika inti aktif merupakan hasil dari penggabungan atau tabrakan antar galaksi maka seharusnya mereka ditemukan dalam galaksi dengan massa moderat sekitar trilyunan kali massa Matahari. Pada kenyataannya, inti aktif ini justru ditemukan pada galaksi dengan massa 20 kali lebih besar dari nilai yang diprediksi oleh teori penggabungan.
Hasil terbaru tersebut memberi wawasan baru bagaimana lubang hitam super masif memulai saat makan mereka. Diindikasikan kalau lubang hitam medapatkan makanannya dari proses di dalam galaksi itusendiri seperti ketidakstabilan piringan dan letusan bintang sebagai teori yang berlawanan dari tabrakan galaksi.
Di masa lalu, sampai dengan 11 milyar tahun lalu, tabrakan galaksi hanya bisa memberi kontribusi sejumlah kecil presentase dari galaksi aktif dengan kecerlangan moderat. Pada masa itu, galaksi-galaksi memiliki jarak yang lebih dekat sehingga kemungkinan terjadinya penggabungan lebih sering terjadi dibanding masa sekarang. Dan hasil terbaru ini jelas memberi nuansa baru yang mengejutkan.

Pasangan Lubang Hitam Supermasif Dekat Bima Sakti

Lubang hitam, obyek yang satu ini memang menarik. Kemisteriusannya menjadi daya tarik tersendiri yang mengundang keingintahuan. Dan untuk pertama kalinya pula-lah, para astronom berhasil menemukan sepasang lubang hitam supermasif di galaksi spiral yang mirip Bima Sakti.
Ada yang menarik. Pasangan lubang hitam yang berada di galaksi spiral tersebut hanya berada pada jarak 160 juta tahun cahaya dari Bumi dan menjadikan pasangan tersebut sebagai pasangan terdekat yang diketahui memiliki fenomena sepasang lubang hitam supermasif di galaksi.
Pasangan Lubang Hitam
Citra galaksi spiral dengan sepasang lubang hitam. Kredit : X-ray: NASA/CXC/SAO/G. Fabbiano et al; Optik: NASA/STScI
Lubang hitam yang diamati oleh mata teleskop landas angkasa Chandra X-ray berada di pusat galaksi spiral NGC 3393. Keduanya terpisah oleh jarak 490 tahun cahaya dan lubang hitam tersebut tampaknya merupakan sisa dari hasil penggabungan dua galaksi dengan massa berbeda sekitar satu milyar atau lebih tahun yang lalu.
Seandainya galaksi NGC 3393 tidak berada begitu dekat, maka para astronom tidak akan memiliki kesempatan untuk melihat dan memisahkan kedua lubang hitam yang ada di pusatnya. Tim yang dipimpin Pepi Fabbiano dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA), Cambridge yang berhasil melihat sepasang galaksi tersebut memperkirakan masih ada pasangan lubang hitam lainnya yang belum ditemukan oleh para astronom.
Pada awalnya, data pengamatan sinar-X dan panjang gelombang lainnya mengindikasi keberadaan lubang hitam supermasif tunggal berada di pusat NGC 3393. Akan tetapi setelah dilakukan pengamatan dengan Chandra dalam rentang waktu lebih panjang, ternyata data yang diberikan justru menunjukkan keberadaan dua lubang hitam yang terpisah. Kedua lubang hitam ini pun masih aktif bertumbuh dan memancarkan sinar-X karena gas “terhisap” oleh lubang hitam tersebut dan menjadikan lubang hitam semakin panas.
Merger Galaksi
Ketika dua galaksi dengan ukuran yang sama bersatu, terbentuk sepasang lubang hitam dan sebuah galaksi yang penampakannya kacau dan memiliki pembentukan bintang yang intens dengan kata lain terdapat banyak bintang muda. Contoh yang cukup dikenal adalah pasangan lubang hitam supermasif di NGC 6240 yang terletak 330 tahun cahaya dari Bumi.
Kasus NGC 3393 berbeda dari yang diduga astronom. Ia adalah spiral galaksi yang teratur dan area bulge (tonjolannya) didominasi oleh bintang-bintang tua. Unik dan tidak biasa bagi galaksi yang memiliki sepasang lubang hitam. Tampaknya NGC 3393 menjadi contoh pertama dari penggabungan galaksi besar dan galaksi yang jauh lebih kecil atau disebut “merger minor” yang kemudian menghasilkan terbentuknya sepasang lubang hitam supermasif.
Menurut teori, penggabungan minor merupakan cara paling umum bagi terbentuknya pasangan lubang hitam namun kandidat yang baik sulit ditemukan karena penggabungan galaksi yang dicari itu diharapkan memiliki kekhasan tersendiri.
Penggabungan dua galaksi pada NGC 3393 tidak meninggalkan jejak dari tabrakan yang terjadi sebelumnya selain keberadaan kedua lubang hitam tersebut. Jika ada ketidakcocokan ukuran dari kedua galaksi yang bergabung maka tidak mengherankan jika setelah bergabung galaksi yang lebih besar bisa melaluinya tanpa cedera.
Jika penggabungan kedua galaksi tersebut merupakan penggabungan minor, lubang hitam dari galaksi yang lebih kecil harusnya memiliki massa yang lebih kecil dibanding pasangannya sebelum galaksi keduanya mulai bertabrakan.  Sayangnya, data massa kedua lubang hitam belum tersedia untuk menguji ide tersebut meskipun hasil pengamatan menunjukkan kalau kedua lubang hitam jauh lebih masif dari 1 juta matahari. Dan dengan asumsi kalau ini adalah penggabungan minor, maka kedua lubang hitam itu seharusnya sudah bergabung selama milyaran tahun.
Kedua lubang hitam tersebut juga tidak mudah diamati karena terhalang oleh gas dan debu yang tebal sehingga tidak terlihat dalam cahaya optik. Pengamatan dengan mata inframerah leih memungkinkan karena sinar-X lebih kuat untuk menembus materi penghalang tersebut. Spektrum yang dihasilkan Chandra X-ray sangat jelas menunjukkan keberadaan kedua lubang hitam tersebut.
Pasangan Lain di Galaksi Berbeda
Penemuan NGC 3393 memiliki kemiripan dengan “kemungkinan” pasangan lubang hitam supermasif yang ditemukan oleh tim Julia Comerford dari University of Texas di Austin dengan menggunakan data Chandra.  Sumber sinar-X yang berasal dari lubang hitam supermasif dalam sebuah galaksi yang berada 2 milyar tahun dari Bumi dan kedua lubang hitam tersebut terpisah sejauh 6500 tahun cahaya.
Seperti halnya di NGC 3393, galaksi tuan rumah tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan atau jumlah ekstrim dari pembentukan bintang. Namun, tidak ada struktur atau tanda khusus yang tampak di galaksi tersebut. Juga  salah satu sumber bisa dijelaskan oleh jet atau letusan tiba-tiba yang sangat kuat sehingga menyiratkan kalau hanya ada satu lubang hitam supermasif di galaksi itu.
Tabrakan dan penggabungan antar galaksi merupakan salah satu jalan bagi galaksi dan lubang hitam untuk tumbuh dan bagi para astronom, menemukan sepasang lubang hitam di galaksi spiral menjadi petunjuk penting bagi perjalanan manusia untuk mengetahui bagaimana semua itu terjadi.

Kisah penemuan Galaksi Bima Sakti (Bagian Pertama)

Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat, menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional, London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana memberikan nama lain untuk objek yang sama. Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles (dinamakan Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—dengan Alcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya. Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi Yunani, galaxias diadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu” dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Wayyang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang. Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Alam semesta yang dibayangkan Thomas Wright dari Durham.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham, menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola. Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa "Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messier adalah sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu” tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus. Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari. Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat, dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi. Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.” Bagi astronom Harlow Shapley, nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di kemudian hari dinamakan sebagai Debat Akbar (The Great Debate) ini, kedua pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka, akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala Galaksi dan alam semesta kita.